A. Pendahuluan
Khusus di
Kalimantan Barat, Kabupaten Sanggau merupakan salah satu Kabupaten yang
berbatasan langsung dengan Sarawak (Malaysia Timur). Garis perbatasan antara
Kabupaten Sanggau dengan Sarawak kurang lebih 129,50 Km (15%) dari sepanjang
garis perbatasan antara Kalimantan Barat dengan Sarawak yang dimulai dari
Tanjung Seraung (batas Kabupaten Bengkayang) sampai puncak gunung Bungkang
(batas Kabupaten Sintang). Sedangkan untuk luas wilayah Kabupaten Sanggau
adalah 12.858 Km2. (12,47% dari wilayah Kalimantan Barat yang seluas
614.807 Km2). (Tomi, 2012:1)
Sebelum berubah menjadi Kabupaten, pada awalnya wilayah
Sanggau adalah Kerajaan Melayu yang sudah ada sejak abad ke-4 Masehi. Pada awalnya,
nama Sanggau berasal dari pohon rambutan yang berkulit tebal dan isinya sangat
tipis serta sangat berbahaya jika bijinya tertelan, bernama “Sangao”. Berdasarkan dari penyebutan
nama sejenis pohon inilah maka wilayah tersebut kita kenal sekarang sebagai
“Sanggau”.
Sanggau yang dikenal dengan Bumi Daranante ini banyak
memiliki keunikan. Baik ragam kekayaan alam, sejarah maupun budaya. Kabupaten
Sanggau mempunyai peninggalan kebudayaan masyarakat Sanggau tempo dulu. Yaitu
dengan terdapatnya Keraton Surya Negara yang memerintah pada abad ke-18 dengan
Rajanya yang bergelar “Panembahan”.
Catatan sejarah menyebutkan bahwa pertama kali Kerajaan Sanggau didirikan
oleh Daranante. Dia bukan asli dari Sanggau, namun berasal dari daerah
Sukadana, Kabupaten Ketapang. Daranante kemudian menikah dengan Babai Cingak
dari suku Dayak Sanggau yang berasal dari daerah Sabok (Perbatasan
Kecamatan Balai Karangan-Sarawak Malaysia Timur). Awalnya keraton yang dibangun
Daranante dipusatkan di Desa Mengkiang atau tepatnya ke arah hulu sungai Sekayam,
Kecamatan Sanggau sekitar 1400 Masehi. Para raja yang berkuasa menjalankan roda
pemerintahannya dari dalam istana bernama “Keraton Rumah Besar”. Saat
berpusat di Desa Mengkiang, Kerajaan Surya Negara dikenal dengan nama Kerajaan
Paku Negara. Para raja yang memerintah pun umumnya mendapat gelar Pangeran Paku
Negara. Gelar tersebut selalu diselipkan dalam nama raja sebagai pertanda
kebangsawanannya. (Tomi: 2012, 23)
Keturunan Kerajaan Sanggau di masa sekarang meyakini bahwa kerajaan leluhur
mereka itu didirikan pertama kali pada tanggal 7 April 1310 M. Yaitu ketika
Dara Nante dinobatka sebagi penguasa Kerajaan Sanggau yang pertama. Maka, pada tanggal 26 Juli 2009, perwakilan
etnis yang terdapat di Sanggau, yaitu Melayu, Dayak dan Tionghoa, menyepakati
bahwa tanggal 7 April sebagai hari jadi Kota Sanggau, meskipun hal ini masih
sebatas pendeklarasian dan belum sebagai ketetapan
pemerintah.
Setelah menetap di Desa Mengkiang, Babai Cingak diangkat menjadi
Temenggung. Ia kemudian menikah dengan seorang gadis bernama Putri Daranante.
Putri Daranante adalah anak pertama dari lima bersaudara, yakni Dara Juanti
(Sintang), Dara Hitam (Landak), Dara Putih atau Dara Nandung (Sambas), serta Dara Junjung Buih (Ketapang). Dari pernikahannya dengan Daranante, Babai Cingak dikarunia
seorang anak perempuan bernama Dara Mas Retana. Ia memiliki paras yang manis
dari gadis lain yang ada di sana dan ia dibesarkan dengan adat istiadat agama
Hindu, seperti yang dianut oleh kedua orang
tuanya.
Saat dewasa, Dara Mas Retana menikah dengan seorang pemuda bernama
Abdurrahman. Ia merupakan warga Banten pemeluk agama Islam yang berkelana ke
Desa Mengkiang sekitar tahun 1485 Masehi. Ia adalah alumnus Pesantern Nurul
Kamal Kerajaan Banten. Ia datang ke Mengkiang untuk menyebarkan agama Islam.
Sejak kedatangannya, banyak masyrakat mengkiang yang masuk Islam. Istrinya,
Dara Mas Retana merupakan orang Mengkiang yang pertama memeluk Islam.
Untuk kepentingan menyiarkan Islam, Abdurrahman mendirikan rumah yang
sangat besar. Rumah tersebut sering berfungsi sebagai tempat berkumpul dan
menyebarkan agama Islam. Seiring berjalannya waktu, Abdurrahman dinobatkan menjadi raja pertama di
Kerajaan Paku Negara, Desa Mengkiang. Kemudian, rumah besar yang ia bangun juga
dijadikan istana dengan sebutan “Keraton Rumah Besar”.
Dari pernikahannya dengan Dara Mas Retana, Abdurrahman dikarunia satu orang
anak perempuan bernama Dayang Puasa. Dayang Puasa selanjutnya
menikah dengan Abang Awaluddin, warga Nanga Mau, Kabupaten Kapuas Hulu.
Dari pernikahannya tersebut, Dayang Puasa dikarunia dua orang putra. Anak
pertama bernama Abang Gani bergelar Ade Pati Paku Negara. Sementara anak kedua
bernama Abang Kesuma bergelar Pangeran Agung Paku Negara.
Kemudian pada tahun 1826 Sultan Ayub
sebagai penambahan kala itu, memindahkan pusat kerajaan Sanggau ke Desa Kantu’. Kerajaan tersebut berubah nama menjadi Keraton Surya
Negara serta mendirikan Masjid Jamik. Tahun 1826 ketika kerajaan diperintah
oleh Panembahan Kusuma Negara, saat itulah dibuat kesepakatan dengan pemerintah
Kolonial Belanda untuk menyewakan sebidang tanah di kawasan hilir sungai
Sekayam. Namun akhirnya Belanda menduduki kerajaan Sanggau pada tahun 1887.
Saat itulah pecah peperangan rakyat melawan Belanda.
Setelah kemerdekaan Indonesia, dengan dikeluarkan Undang-Undang No. 27
tahun 1959 Kerajaan Sanggau masuk dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Indonesia
merupakan negara dengan beragam budaya yang mestinya gerak kehidupannya tidak
lepas dari budaya-budaya itu sendiri. Sebab, budaya merupakan tradisi nenek
moyang yang terus mengalir dalam nadi yang telah diwarisi kepada kita sebagai
anak cucunya.
Salah satu Budaya Tradisional, khususnya di Kalangan
Masyarakat Melayu Muara Kantu’ di Kabupaten Sanggau adalah “Faradje’”. Faradje’
merupakan budaya dari nenek moyang Melayu Muara Kantu’ yang harus dilestarikan
sebagai wujud menjalankan amanah dari nenek moyang yang khawatir akan tergeser
oleh perkembangan zaman.
Untuk mewujudkan hal tersebut, pihak Keraton Surya
Negara, kerajaan di Kabupaten Sanggau merutinkan kembali festival budaya
Faradje’ setiap tahun di bulan Juni. Pada pelaksanaan festival Faradje’
tersebut bukan hanya terfokus pada ritual Faradje semata, akan tetapi juga
mengangkat Seni Kebudayaan Masyarakat Melayu Sanggau lainnya.
Festival tersebut bukan dalam rangka hura-hura, tetapi
keliling Kota Sanggau untuk membersihkan negeri di Kabupaten Sanggau dari mara
bahaya dan malapetaka dari berbagai macam musibah dan penyakit atau bencana
alam.
Dalam pelaksanaannya diawali dengan Pawai Faradje’
mengelilingi Kota Sanggau dengan lantunan asma Allah SWT. Dalam Fesival tersebut, turut diundang
petinggi-petinggi yang ada di Sanggau. Selain itu, juga mengundang para Raja
yang ada di Kalimantan Barat dan raja-raja di luar Kalimantan Barat.
Tujuan dari dilakukan festival tersebut adalah untuk melestarikan budaya
leluhur. Budaya Faradje’ sudah sangat mengakar dan sudah menjadi cikal bakal
dan nilai-nilai kearifan lokal yang ada di Sanggau yang perlu dilestarikan dan
dipertahankan yang menyangkut budaya tidak lepas dari seni. Sebab, seni itu
indah dan budaya merupakan suatu kearifan oleh nenek moyang dan merupakan hal
yang patut dilestarikan dan dikembangkan kepada generasi yang akan datang. Hal
tersebut dilakukan agar mereka tidak mudah terpengaruh dengan budaya-budaya
asing yang bisa merusak iman, akhlak serta moral mereka.
Di
sinilah keunikan dari acara Faradje’, karena dalam pelaksanaan acara tidak
hanya monoton pada kegiatan ritual Faradje’ semata. Akan tetapi diadakan juga
berbagai perlombaan untuk memeriahkan acara tersebut, di antaranya lomba sampan dan sampan tiga dara, hadrah,
zapin, gambus, bersyair putra-putri, perlombaan busana muslim, menari, dan
masih banyak lagi yang semuanya berhubungan dengan budaya dan seni.
Tujuan dilakukan perlombaan berbagai seni di sini adalah untuk melestarikan
seni-seni Islam agar tidak hilang tenggelam ditelan zaman.
Selain
itu, keunikan dari acara ini adalah diundangnya para petinggi negara, raja-raja
dari Kerajaan lain, baik yang ada di kalimantan Barat, luar pulau Kalimantan
Barat hingga ke negara tetangga, seperti Malaysia dan Brunei Darussalam.
Khusus dilakukan festival Faradje’ ini adalah untuk
membersihkan negeri dari segala penyakit dan marabahaya. Setelah itu baru
dilakukan kegiatan-kegiatan lainnya. Sebelumnya juga telah dilakukan
kegiatan-kegiatan yang sifatnya ritual yang berhubungan dengan keraton.
Menurut
Hamdani, seorang Laskar Yasiin mengatakan, “Acara ritual yang dimaksud adalah
seperti memberi sesaji kepada makhluk gaib penunggu Sungai Kapuas, namun makan
yang menjadi sesaji tidaklah porsi yang banyak, yaitu beras ketan hitam dan
beras kuning yang sudah dimasak, ayam hitam yang sudah di panggang, dan kelapa
muda yang masih segar. Sebenarnya makanan tersebut sisa yang sudah dimakan oleh
para laskar dan mereka yang turut dalam kegiatan upacara Faradje’. Memang, di
dalam Islam membuang makan adalah mubazir dan berdosa, namun maksud memberi
makanan kepada makhlus halus di sini adalah agar makhluk halus tersebut tidak
mengganggu ketentraman yang ada di Muara Kantu’.”
Hamdani
juga mengatakan, sebagian besar penduduk Muara Kantu’ masih menggunakan
pemikiran tradisional, yaitu percaya dengan hal-hal mistis dan mitos. Karena
tidak dapat dipungkiri, setiap tahun Sungai Kapuas selalu menelan korban tidak
kenal muda maupun tua. Dan anehnya lagi, sebagian korban yang tenggelam di
Sungai Kapuas tersebut sudah bisa berenang, seperti yang dialami oleh almahrum
paman beliau yang tenggelam ketika pergi memancing. Akan tetapi, sebagian juga
sudah berpikir modern, artinya sama sekali tidak mempercayai dengan hal-hal
mitos seperti itu.
Berdasarkan
kisah yang beredar, ada sejenis siluman yang melintang di dasar Sungai Kapuas
berbentuk ular besar, dikenal dengan Puaka. Panjang Puaka ini sekitar ratusan
meter, di mana ekornya berada Sekayam hulu Muara Kantu’ dan ekornya berada di
Panjur Aji, di mana diketahui terdapat Kerajaan Gaib yang tak kasat mata bagi
orang biasa. Masyarakat percaya, terjadinya korban adalah atas murkanya
penghuni Sungai Kapuas ini akibat ulah manusia yang tidak bisa menjaga
kelestarian alam, seperti memubuhkan racun ke sungai saat musim kemarau agar
memperoleh banyak ikan, membuang sampah di sungai, dan beragai macam perbuatan
yang dapat merusak kelestarian Sungai Kapuas juga perilaku manusia yang tidak
bermoral.
Penghuni
atau makhluk halus yang berada dalam Sungai Kapuas tersebut pernah disiarkan di
salah satu stasiun televisi nasional dalam acara Mister Tukul Jalan-Jalan.
Acara tersebut menyiarkan keberadaan Puaka dan keadaan yang ada di sekitar
Pancur Aji.
B.
Sejarah di Masyarakat Melayu Muara Kantu’
Setiap daerah pasti memiliki sejarah
tersendiri yang akan membuatnya terlihat unik dari yang lain. Seperti di daerah
Muara Kantu’ Kabupaten Sanggau, di sini ada beberapa sejarah yang memang membuat
daerah ini menjadi daerah yang cukup dikenali oleh banyak orang. Daerah Kantu’ sendiri pada awalnya adalah tembok atau gerbang yang
melindungi Keraton dari daerah luar. Sehingga di zaman sekarang, daerah
tersebut menjadi pemukiman penduduk namun mayoritas penduduk tersebut masih
memiliki keturunan raja-raja dari Keraton Surya Negara.
Selain
sejarah asal mula daerah Kantuk, masih ada sejarah lainnya yang terdapat di
daerah tersebut. Salah satunya adalah sejarah tentang masjid pertama yang didirikan oleh pemimpin
kerajaan pada waktu itu. Nama masjid tersebut adalah Masjid Jami’ Sultan Ayub.
Nama tersebut diambil dari nama raja yang menggagas pendiriannya.
Seperti masjid-masjid bersejarah lainnya di
Kalimantan Barat, keberadaan Masjid Jami’ Sultan Ayub ini letaknya tidak juah
dari tepian Sungai Kapuas dan berdekatan dengan Keraton Surya Negara.
Sekilas, bangunan Masjid Jami’ Sultan ayub ini
hampir mirip dengan Masjid Jami yang ada di lingkungan Keraton Alwatzikubillah
Sambas. Bentuk panggung dengan ornament keislaman di dalamnya seperti menjadi
ciri khas yang tidak dapat dipisahkan.
Pada halaman depan masjid, terdapat sebuah
tiang bendera yang bentuknya mirip dengan tiang layar kapal. Meski bentuknya
sudah tidak lagi sempurna, namun tiang bendera tersebut tetap berdiri kokoh
hingga kini. Pada bagian luar ruangan, nuansa Islam terasa sangat kental.
Sebelum melangkahkan kaki memasuki bagaian dalam masjid, pada bagian atas pintu
masuk tertampang sebuah ukiran arab yang dilengkapi angka-angka.
Masjid Jami’ ini berdiri antara rentang waktu
1825-1828 Masehi, oleh Sultan ayub. Dalam perkembangannya, masjid bersejarah ini
dipenuhi dengan aneka barang-barang antik. Beberapa di antaranya mimbar khatib
yang dibuat dimasa awal pembangunan masjid Jami’, lampu minyak yang konon
berasal dari Negeri Cina serta sebuah bedug kuno.
Dahulu, lampu minyak antik itu jumlahnya
terbilang banyak, dan sayangnya sekarang hanya tersisa lima buah saja. Jika
dulu lampu itu diisi dengan minyak jarak dan sebuah sumbu, maka sekarang di
dalamnya ditempatkan lampu neon.
Di bagian mimbar, ditempatkan tempat duduk
khatib yang posisinya terbilang tinggi. Di atas mimbar, ada empat buah bendera
kuning. Bendera itu merupakan perlambang bagi empat sahabat setia Rasulullah
saw, yakni Abu Bakar As Shiddiq, Umar bin Khatab, Usman bin Affan, dan Ali bin
abi Thalib. Keempat nama sahabat Rasulullah tersebut tertulis dengan indah di
masing-masing bendera. Dan umur bendera tersebut seusia dengan mimbar.
Selain sejarah keberadaan Masjid Jami’ Sultan
Ayub, di Sanggau khususnya di daerah
Muara Kantu’ juga mempunyai sejarah tentang asal-usul kehadiran Faradje’ di daerah tesebut.
Sebenarnya tidak ada penjelasan yang pasti
kapan Faradje’ masuk ke Kabupaten Sanggau dan siapa yang membawanya. Akan tetapi menurut salah seorang Narasumber,
yaitu Bapak Ade Ibrahim dalam Tomi (2012: 49) bahwa ritual Faradje’ ini dahulunya diajarkan oleh para Ulama Arab yang
berasal dari Yaman.
Berdasarkan penuturan Bapak Ade Ibrahim
tersebut ketika beliau masih kecil bahwa dahulunya Keraton Kantu’ sering di
datangi rombingan Ulama dari Arab. Sudah tradisi mereka turun temurun
berkunjung ke Keraton Kantu’ karena menurut beliau para Ulama dari Arab
tersebut mempunyai hubungan khusus dengan kerabat Keraton Kantu’. Selain
bersilaturahmi, para Ulama Arab ini juga mengajarkan ilmu agama serta seni
tradisiaonal arab salah satunya adalah “Zapin” yang oleh orang-orang tua lebih
dikenal dengan istilah “Tanak”.
Bapak Ade Ibrahim masih mengingat beberapa pelajaran
yang didapatkan orang-orang tua di kampung Kantu’ dari Para Ulama Arab tersebut
antara lain: Pelajaran Sifat Dua Puluh, Ilmu Makrifat, Nur Muhammad, Tajul
Muluk, Saraba Empat dan Ilmu Titik Ba’. Bahkan Para Ulama juga mengajarkan Ilmu
Pernafasan dalam Berdzikir yang selanjutnya isitilahkan oleh orang-orang tua
kampung Kantu’ sebagai Ilmu Tenaga Dalam.
Tidak jauh berbeda dengan penuturan Bapak Ade
Ibrahim, menurut penuturan dari bapak H. Achmad Arief
dalam Tomi (2012: 53) juga mengatakan
bahwa Keraton Sanggau dahulunya sering dikunjungai rombongan Ulama
dari Yaman. Ayah dari Bapak H. Achmad Arief ini bernama M. Arief anak dari
Penembahan H. M. Said Paku Negara yang merupakan salah seorang Raja Sanggau.
Ibunya bernama Dayang Masni anak dari Abang H. Ahmad seorang Penghulu Agama
di Keraton Surya Negara Sangau.
Kunjungan rombongan dari Yaman ini sudah
menjadi tradisi, bahkan seperti ada hubungan khusus antara pihak keraton
Sanggau dengan Para Ulama dari Yaman. Bapak H. Achmad Arief semasa kecilnya
masih sempat merasakan kunjungan sekian kalinya para rombongan para Ulama dari
Yaman ini. Ketika berkunjung ke Keraton Sanggau di kampung Kantu’ para Ulama dari
Yaman ini selalu berkumpul di Keraton Kantu’ atau Rumah Balai.
Selain bersilaturahmi, rombongan Ulama dari
Yaman ini juga mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada kerabat Keraton dan
masyarakat sekitar kampung Kantu’. Maka ramailah orang memadati Keraton Kantu’
guna mendapatkan pelajaran-pelajaran langsung dari para Ulama Yaman tersebut.
Malam harinya setelah belajar agama, para Ulama Yaman ini menggelar atraksi
seni tari tradisional masyarakat Arab yaitu Zapin yang oleh masyarakat sekitar
dikenal dengan Tanak.
Dari Narasumber lainnya menyampaikan bahwa
Sanggau pada zaman dulu mempunyai tokoh ulama yang berasal dari Kerajaan
Sanggau. Tokoh Ulama tersebut bernama H. Abbas bin Ahmad bin Hamzah As-Sanggau
Maul Kapuas, yaitu seorang Penghulu Agama di Sanggau. Semasa hidupnya beliau,
budaya Faradje’ selalu dirutinkan di setiap kampung-kampung. (Tomi, 2012: 51)
Selain beberapa ulama yang dibahas di atas,
ada juga beberapa Narasumber yang menghubungkan ritual Faradje’ ini pada
seorang Ulama penyebar Islam di Kalimantan Barat, Yaitu Habib Husein Al-Qadri.
Pengambilan berkat kepada Habib Husein Al-Qadri dikukan
lantaran pada masa-masa itu wilayah Sanggau hingga ke Kapuas Hulu sering
menjangkit wabah penyakit yang meresahkan masyarakat. Dan rombongan tersebut
datang kepada Habib Husein guna meminta petunjuk agar permasalahan tersebut
bisa teratasi.
C.
Sejarah Islam Di Muara Kantu’
Munculnya Islam di Sanggau, khususnya di daerah Muara
Kantu’ bermula dari seorang lulusan Pesantren Nurul Kamal Kerajaan Banten yang
bertekad menjadi ahli waris Nabi untuk menyebar agama Islam. Ia datang ke arah
mengkiang sebuah daerah yang ada di Kabupaten Sanggau untuk berdakwah sekitar
tahun 1485 Masehi.
Masyarakat Sanggau pada waktu itu banyak yang menganut
agama Hindu. Tak terkecuali Dara Mas Retana, seorang putri berdarah biru yang
dibesarkan dengan adat-istiadat agama Hindu, seperti yang diantu kedua orang
tuanya. Dara Mas Retana adalah putri dari Babai Cingak, seorang Temenggung,
hasil pernikahannya dengan seorang gadis bernama Putri Daranante.
Singkat cerita , akhirnya Abdurrahman menikah dengan Dara
Mas Retana. Dari ikhtiarnya dalam memilih pendamping hidup, membawa manfaat
yang sangat bagi dakwah Islam.
Risalah Islam yang disampaikan oleh Abdurrahman mejadikan
Dara Mas Retana merupakan orang Mengkiang pertama yang memeluk agama Islam. Hal
ini kemudian diikuti oleh masyarakat lain, sehingga sejak kedatangan
Abdurrahman banyak masyarakat Mengkiang yang memeluk agama Islam.
Abdurrahman kemudian mendirikan sebuah rumah besar
sebagai kepentingan berdakwah. Rumah tersebut sering difungsikan sebagai
tempat berkumpul dan menyebarkan agama Islam. Seiring berjalannya waktu,
Abdurrahman akhirnya dinobatkan sebagai raja pertama di Kerajaan Paku Negara,
Desa Mengkiang. Selanjutnya, rumah besar yang ia bangun juga dijadikan istana
dengan sebutan Keraton Rumah Besar.
Dari pernikahnnya dengan Dara Masa Retana, Abdurrahman
dikarunia satu orang anak perempuan yang bernama Dayang Puasa yang selanjutnya
menikah dengan Abang Awaluddin, warga Nanga Mau, Kabupaten Kapuas Hulu. Dari
pernikahannya itu, Dayang Puasa dikaruia dua orang anak laku-laki. Anak pertama
diberi nama Abang Gani yang bergelar Ade Pati Paku Negara, sedangkan anak kedua
bernama Abang Kesuma bergelar Pangeran Agung Paku Negara.
Saat masih berpusat di Desa Mengkiang, kerajaan Surya
Negara (sekarang) dikenal dengan nama Kerajaan Paku Negara. Para raja yang
memerintah pun umumnya mendapat gelar Pangerang Paku Negara. Gelar tersebut
selalu disematkan dalam nama para raja sebagai pertanda kebangsawannya.
Pemerintah Kerajaan/Kesultanan Sanggau di Mengkiang
bertahan hingga masa kekuasaan abang Bungsu yang bergelar Sultan Mohammad Jamaluddin
Kusumanegara yang bertahta dari tahun 1658 hingga 1690 Mashi. Sultan Mohammad
Jamaluddin Kusumanegara memindahkan pusat pemerintahan dari Mengkiang ke tempat
yang sekarang menjelma menjadi Kota Sanggau, tepatnya di daerah Muara Kantu’.
Meskipun bukan sebuah kerajaan besar, namun Kesultanan
Sanggau juga memiliki beberapa wilayah pendudukan. Pada masing-masing dari
daerah taklukan Kesultanan Sanggau tersebut ditempatkan seorang pejabat yang
ditunjuk oleh Sultan Sanggau. Daerah-daerah yang disebutkan sebagai bagian dari
wilayah penduduk Kesultanan Sanggau tersebut di antaranya adalah Semerangkai,
Balai Karangan, Tanjung Sekayam, dan sejumlah daerah lainnya.
Secara umum, wilayah Kerajaan/Kesultanan Sanggau tidak
jauh berbeda dengan wilayah Kabupaten Sanggau pada masa sekarang. Hal tersebut terlihat
ketika pembentukan Kabupaten Sanggau yang mengacu kepada wilayah Swapraja
Sanggau, sementara Swapraja Sanggau merupakan kelanjutan dari Kerajaan Sanggau
dahulu.
Kabupaten Sanggau merupakan salah satu daerah yang
terletak di tengah-tengah dan berada di bagian utara Kalimantan Barat. Di sebelah utara Sanggau berbatasan
langsung dengan Sarawak (Malaysia), di selatan berbatasan dengan Kabupaten Ketapang, di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten
Landak, dan di sebelah timur
Sanggau berbatasan dengan Kabupaten Sekadau dan Kabupaten Sintang.
Inilah cikal bakal Kerajaan sanggau, sebuah kerajaan
Islam yang merupakan salah satu situs sejarah yang berharga bagi Kalimantan
Barat, khususnya daerah Muara Kantu’ Kabupaten Sanggau. Istana kerajaan ini
berada di jantung kota Sanggau, tepatnya di daerah Muara Kantu’, Kelurahan
Tanjung Sekayam. Setelah berpindah tempat dari Desa Mengkiang ke daerah Muara
Kantu’ pada tahun 1827-an oleh Pangeran Ayub yang merupakan masih keturunan
dari Abdurrahman. Dan kerajaan tersebut berganti nama menjadi Keraton Surya
Negara.
Setelah pusat kerajaan Sanggau pindah ke Kantu’,
perekonomian kerajaan menjadi tambah maju, pusat kerajaan menjadi tambah ramai,
dari banyak kerajaan, dan negara lain yang singgah dan berdagang dengan
kerajaan Sanggau. Masa pemerintahan kerajaan Sanggau berakhir sampai masa zaman
kemerdekaan.
Kemudian, setelah memindahkan pusat kerajaan, Sultan Ayub
paku Negara menggagas pembangunan yang diberi nama Masjid jami’ Sultan Ayub
yang merupakan masjid jami’ pertama di Sanggau. Masjid ini hanya terletak
beberapa puluh meter saja dari Keraton Surya Negara. Hal menandakan bahwa
antara Masjid Jami’ dan Keraton Surya Negara mempunyai hubungan dan tidak
terpisahkan karena merupakan tempat ibadah dan juga aktivitas sosial.
Dari hubungan antara keraton dan masjid tersebut juga
dapat diketahui bahwa tujuan dari pendirian masjid adalah sarana untuk memperlancar
dakwah Islam di Kabupaten Sanggau dan sebagai sarana ibadah bagi mereka yang
telah memeluk agama Islam. Sebab, keberadaan masjid tidak akan bisa dipisahkan
dengan agama Islam.
Namun catatan lain menyebutkan bahwa kehadiran Islam di
daerah Kantu’ sudah ada sejak tahun 1747 M. (Tomi, 2012: 55). Kedatangan Islam di daerah tersebut disebabkan dari
banyak hal, di antaranya kedatangan Para Ulama dari Yaman yang sering
berkunjung ke Keraton Surya Negara. Dalam kunjungan tersebut, para ulama
mengajarkan banyak hal kepada masyarakat setempat terutama tentang agama Islam.
Selain Para Ulama dari Yaman, ada juga seorang Penghulu
Agama di Sanggau yang menghasilkan karya berjudul “Fat-hul Qulub, yang
diselesaikan pada sepertiga malam Jum’at, 29 Jumaidil Akhir 1328 H, yang
bersisi tentang Tasawuf, Akhlak, Do’a dan Ungkapan Syair dalam Bahasa Melayu.
Juga disebutkan seorang ulama yang menyebarkan Islam di
Kalimantan Barat, yaitu Habib Husein Al-Qadri. Penyebaran Islam di Muara Kantu’
bisa dilakukan sebab kedatangan rombongan dari kerajaan Sanggau dan Kapuas Hulu
meminta petunjuk darinya untuk menghilangkan atau menyembuhkan kampung halaman
mereka yang kala itu terjangkiti wabah penyakit, kegagalan panen serta kematian
hewa ternak.
D. Tradisi Faradje’ dan Nilai-nilai Islam bagi
Masyarakat Muara Kantu’
Tradisi Faradje’ merupakan budaya khas masyarakat Melayu
Sanggau yang dilaksanakan setiap tahun pada bulan Juni. Kegiatan tersebut
dilaksanakan dengan pawai mengelilingi kota Sanggau yang awal keberangkatannya
dari Keraton Surya Negara dan kembali lagi tempat yang sama. Festival tersebut
tentu saja memikat banyak orang untuk menyaksikannya, terutama bagi suku Melayu
juga bagi mereka yang beragama Islam.
Setelah melakukan pawai keliling Sanggau, kegiatan
tersebut dilanjutkan di Keraton Surya Negara yang berada di daerah Muara Kantu’
selama satu minggu yang dimeriahkan dengan berbagai macam perlombaan. Sehingga
pada waktu acara festival Faradje’, daerah Muara Kantu’ terlihat sangat ramai,
karena selain diadakan perlombaan, orang-orang juga banyak yang mendirikan
stan-stan untuk berjualan. Tentu hal tesebut sangat menguntungkan bagi mereka,
sebab bukan hanya dari kota Sanggau tersebut menghadiri festival Faradje’,
tetapi juga dari berbagi penjuru daerah ikut hadir untuk memeriahkannnya.
Inilah keunikan dari upacara Faradje’, sebab setelah melakukan ritual diadakan
berbagai perlombaan selama satu minggu, dan itu tentunya memberikan keuntungan
bagi mereka yang membuka stan untuk mencari rezeki.
Menurut Rizki
Amrullah, salah seorang yang pernah manjadi Laskar Faradje’ mengatakan,
“Faradje merupakan kegiatan ritual negara guna untuk membersihkan negara dari
berbagai macam mara bahaya yang harus dilestarikan. Dalam pelaksanaannya para
Laskar dan mereka yang mengikuti upacara tersebut berjalan mengelilingi kota
Sanggau yang bermula dari Keraton Surya Negara dan kembali ke tempat semula.
Dalam perjalanan tersebut para Laskar ada yang membaca Surah Yasiin, Shalawat,
dan bacaan Faradje’ itu sendiri. Selain itu, ada juga yang membawa alat-alat
pusaka seperti tombak, keris dan meriam.”
Festival Faradje’ ini tentu saja bukan hanya untuk
berhura-hura dan bersenang-senang belaka, akan tetapi dalam pelaksanaannya
banyak mengandung nilai-nilai Islam yang tentunya berpengaruh bagi Masyarakat
Melayu, khususnya Masyarakat Melayu Kantu’. Di antaranya sebagai adalah Laskar
Lafal Ratib Saman, Laskar Surah Yasiin, Laskar Lafal Faradje’, Pengumandang
Adzan, Tolak Ajong dan Tolak Tujuh Rupa atau Pelepasan Kembang Setaman. Dari
tradisi Faradje’ tersebut semuanya mengandung nilai-nilai Islam bagi Masyarakat
Melayu Muara Kantu’.
1.
Pelafalan Ratib Saman
Asal mula adanya Pelafalan Ratib Saman adalah pada suatu ketika
merebaknya penyakit yang menyerang warga kampung. Wabah penyakit tersebut berasal drai makhulk halus (roh jahat).
Makhluk ini sering menampakkkan dirinya sehingga membuat masyrakat kampung
ketakutan.
Selain terganggu dengan
makhluk halus, masyrakat juga sering diganggu oleh para penjahat atau
perampok. Para perampok ini sering mengambail harta masyarakat dan tidak
segan-segan untuk membunuh jika korbannya melawan.
Karena ketakutan, dan marasa resah dengan situasi yang
seperti itu, akhirnya banyak masyarakat pindah dari kampung halaman ke tempat
yang lebih aman.
Melihat kondisi kampung halamannya terus menerus tertimpa
malapetaka, pemimipin kampung memutuskan untuk pergi ke Mekkah untuk mencari
jalan keluar bagi masalah yangs edang dialami oleh kampungnya.
Setelah sampai di Mekkah, ia bertemu dengan Syeikh Ahmad
Khatib Sambas bin Abd al-Ghaiffar al-Sambasi al-Jawi dari Sambas Kalimantan
Barat. Dari Syeikh ahmad Khatib Sambas inilah ia mendapatkan amalan ibadah yang
bermanfaat guna menghilangkan keresahan warga kmapungnya.
Amalan tersebut berupa rangkaian dzikir yang panjang biasa
disebut dengan “Ratib Saman”. Ratib artinya wirid atau dzikir, sedangkan Saman
berasal dari nama Syeikh yang menciptakan dzikir tersebut yang merupakan salah
satu dari sekian banyak guru dari Syeikh Ahmad Khatib Sambas.
Isi yang terkandung dalam dzikir tersebut adalah
keseluruhan harapan-harapan manusia, termasuk agar terhindar dari gangguan jin,
penyakit-penyakit, perampokan, dan pembunuhan.
Setelah pulang ke kampung halamannya, ketua kampung
tersebut memerintahkan kepada warga kampung untuk melakukan acara terus menerus
sesuai dengan aturan yang berlaku yaitu tiga kali dalam satu bulan setiap malam
jum’at setelah Shalat Isya berjamaah di Surau kampung.
Pada minggu pertama, kegiatan dipusatkan di dalam Surau.
Minggu selanjutnya disertai dengan berjalan keluar Surau menuju pangkal bagian
Selatan dan ujung Kampung bagian Utara karena bagian-bagian tersebut merupakan
sebagai tempat tinggal para makhluk halus.
Dengan upacara tersebut lambat laun apa yang mereka harapkan mulai
terkabulkan. Penyakit mulai hilang dan gangguan jin atau roh jahat mulai berkurang.
Para penjahat atau perempok tidak berani lagi mengganggu masyarakat. Suasana
kampung pun menjadi aman dan tentram.
Dalam ritual Faradje’, kegiatan Pelafalan Ratib Saman ini dilakukan melibatkan beberapa
orang untuk membentuk barisan, jumlahnya tidak ditentukan namun diusahkan
berjumlah ganjil. Dalam perjalanan Laskar ini menyerukan lafal Ratib Saman
dengan lantang sambil mengayunkan pedang dengan ujung berada di langit dan di
pusat bumi, seolah membentuk “Alif-Lam”. Laskar inilah
disebut dengan Laskar Lafal Ratib Saman.
Lafal Ratib Saman berbunyi: “Laaillaahaillallah.... hul
malikul habul mubin, Muhammadarrasulullah sadikul. Waidul amiin”.
Lafal ini terus menerus diucapkan dari awal melangkah
keluar Keraton Surya Negara hingga kembali lagi ke dalam Keraton.
Arti “Ratib” sebenarnya adalah “yang teratur”. (Tomi,
2012: 66). Dalam bahasa Tasawuf, kata Ratib dipakai sebagai suatu bentuk Dzikir
yang disusun seorang guru Tharekat atau
seorang ulama untuk dibaca pada waktu-waktu tertentu oleh seseorang atau
beberapa orang dalam suatu jama’ah sesuai dengan aturan yang telah ditentukan oleh
penyusunnya. Dzikir-dzikir yang yang disusun menjadi Ratib itu biasanya terdiri dari ayat-ayat yang
dipilih dari ayat-ayat Al-Qur’an yang bermakna Tahlil (Mengesakan Allah),
Tasbih (Menyucikan Allah), Tahmid (Memuji Allah), Taqdis (Menyucikan Allah),
Istighfar (memohonkan ampun), Shalawat, Hauqalah (Membesarkan Nama Allah) dan
do’a-do’a pilihan lainnya. Dzikir-dzikir tesebut didasarkan pada pada ayat-ayat
Al-Qur’an serta Hadits-hadits Nabi saw. dan pilihannya sesuai dengan
kecenderungan penyusunannya yang berdasarkan kandungan lafal-lafal dzikir yang
dipilih itu.
Ratib ini biasanya dilakukan setelah shalat Isya pada
malam Jum’at dengan dipimpin oleh
seorang imam. Tujuan pelaksanaan Ratib tersebut tidak keluar dari tujuan
Therkat dan Tasawuf pada umumnya, yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah
swt. dan meminta bantuan-Nya dalam mengekang hawa nafsu, memohon magfirah
(ampun, maaf)-Nya dan meminta petunjuk serta Taufik-Nya dalam mencapai
Ridha-Nya.
Namun, pada saat ini pelaksanaan Ratib banyak mengalami
perubahan, baik karena penambahan, pengurangan, maupun kesalahan yang terdapat
dalam bacaannya. Karena itu perlulah kiranya tuntunan dari seorang Ulama yang
memahami tentang Ratib Saman ini yang sangat kental dengan roh Sufi dan
Tasawuf.
2.
Pembacaan Surah Yasiin
Pembacaan Surah Yasiin dilakukan oleh beberapa orang dan jumlahnya tidak ditentukan
tetapi disarankan berjumlah ganjil. Mereka disebut
dengan Laskar Surah Yasiin. Dalam perjalanan menempuh rute pelaksanaan
upacara, Laskar ini terus menerus membaca Surah Yasiin
dari awal hingga berakhir di Keraton Surya Negara.
Yasiin merupakan nama Surah yang ke 36 dalam Al-Qur’an,
terdiri dari 83 ayat dan termasuk golongan surah Al-Makkiyah yaitu Sura yang
diturunkan di Mekkah. Lafal Yasiin itu sendiri merupakan satu ayatyang
merupakan ayat pertama dari Surah tersebut.
Ayat ini termasuk ayat Mutasyabihat yaitu ayat-ayat yang
mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang
dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam, atau ayat-ayat yang
pengertiannya hanya Allah swt yang mengetahui.
Surah Yasiin bermafaat untuk membentengi suatu tempat
atau wilayah. Prosesi pembentengan tersebut salah satunya adalah melaksanakan
pembacaan Surah Yasiin dengan metode berjalan mengitari tempat atau wilayah.
Pengitaran tempat atau wilayah mesti melintasi empat penjuru dari tempat atau
wilayah yang dimaksud. Selama proses pelintasan, bacaan Surah Yasiin harus
terus menerus ditartilkan mulai dari penjuru yang awal hingga ke penjuru yang
akhir. Ketiba tiba ke penjuru terakhir, malkukan gerakan tertentu dengan maksud
memakrifatkan membentengi tempat atau wilayah yang dimaksud.
Begitu multi gunanya tradisi ritual pembacaan Surah
Yasiin dengan mengelilingi suatu tempat atau wilayah sehingga tradisi ritual
ini dilaksanakan dengan maksimal. Akan lebih maksimal lagi jika tradisi ritual
ini diagungkan dengan kepercayaan diri yang tinggi dengan melibatka segenap
komponen Masyarakat Melayu Sanggau.
3.
Pelafalan Faradje’
Bacaan Faradje’ merupaka momen utama dalam rangkaian
acara Festival Budaya Faradje’ Pasa Negeri di Kabupaten Sanggau. Bacaan ini
merupakan ide awal penanaman Festival Budaya tersebut dengan Faradje’.
Dalam pelaksanaan Lafal Faradje’ dibutuhkan beberapa
orang yang disarankan berjumlah ganjil yang kemudian berbentuk sebah barisan
yang dipimpin oleh seorang imam yang membaca Lafal Faradje’ yang berbunyi:
“Isytaddi ajmantu tanfariji....”. Kemudian dijawab oleh makmum. “Yaa Rabbihim
wabi ‘aalihim, ‘ajil binnasriwabilfaraji”. Diucapkan bersama-sama dengan suara
keras dan lantang. Lafal ini dibaca terus menerus hingga kembali lagi ke
Keraton Surya Negara. Para pelafal bacaan tersebut dikenal dengan Laskar Lafal Faradje’.
Bacaan asli Faradje’ bernama “Qasidah Munfarijah”.
Qasidah Munfarijah adalah bagian dari Qasidah Burdah yang merupakan karya dari
bagian dari Imam Al-Busairy Rahimahullah.
Qasidah Burdah karya Imam Al-Busairy adalah salah satu
karya sastra Islam paling populer. Ia berisikan sajak-sajak pujian kepada Nabi
Muhammad saw. yang biasa dibacakan pada setiap bulan Maulid/Rabiul Awal, bahkan
dibeberapa belahan negeri Islam tertentu, Burdah kerap kali dibacakan dalam
setiap even. Gubahan-gubahan al-Busairy memilki akar yang kuat dalam budaya dan
kesejahteraan sastra di masa Rasulullah saw.
Qasidah Munfarijah juga berhubungan dengan kisah Ibnu
Al-Nahwi Al-Tawzari. Nama asli beliau adalah Yusuf bin Muhammad bin Yusuf, dan
merupakan salah seorang Ulama Sufi ternama di Algeria. Beliau lahir di Tawzar,
Selatan Yunisa sekitar tahun 1042 Hijriyah dan menetap di Msjid Bani Hammad,
Masaylah.
Suatu ketika beliau mendengar berita tentang bencana dan
malapetaka yang menimpa kampung halamnnya di Tawzar. Serangan wabah penyakit merajalela ditambah lagi gannguan keamanan oleh
kelompok perampok. Kesengsaraan kaumnya semakin tidak tertanggung dengan
penindasan dari penjajahan bangsa Prancis pada waktu itu. Korban terus
berjatuhan di tanah kelahirannya tersebut.
Situasi tersebut mejadikan beban fikiran yang mendalam
dilubuk batinnya. Beliau sering bermunajat kepada Allah agar malapetaka dan
bencana bisa terangkat dari tanah kelahirannya yang tercinta.
Hingga suatu malam, beliau bermimpi bertemu Rasulullah
saw. Rasulullah saw menyampaikan kepada beliau tentang Qosidah Munfarijah
gubahan Iamm Al-Busairy. Bait-bait dalam Qosidah Munfarijah tersebut Isya Allah
bisa menjadi salah satu jalan keluar terhadap masalh yang sedang beliau bebani.
Pembacaan bait-bait Qosidah Munfarijah mestilah dilaksanakan dengan
aturan-aturan tertentu, termasuk dibacakan dengan metode mengitari suatu tempat
atau wilayah yang mencakup empat penjuru.
4.
Mengumandangkan Adzan
Adzan artinya memanggil atau memberitahu. Adzan adalah
seruan yang mulai disyari’atkan pada tahun kedua Hijriah. Dalam
penugasan untuk mengumandangkan adzan dibutuhkan empat orang yang masing-masing
mengumandangkan di setiap penjuru yang telah ditentukan, yaitu Timur, Barat,
Selatan dan Utara pada saat pelaksanaan ritual berlangsung.
Pada awalnya, suatu
hari Nabi saw. mengumpulkan para sahabat untuk memusyawarahkan bagaimana cara
memberitahu masuknya waktu shalat dan mengajak orang ramai agar berkumpul ke Masjid
untuk melakukan shalat berjamaah. Oleh karena zaman dahulu belum terdapat alat
pembesar suara maka digaungkanlah adzan serentak atau berselang seling di
setiap empat penjuru Masjid yang seolah-olah adzan di empat penjuru.
Adzan juga dianjurkan oleh Nabi saw. diperdengarkan
kepada bayi yang baru lahir dengan tujuan supaya si bayi tersebut terlahir
dahulu mendengar seruan Allah sebelum ia mendengar bunyi-bunyian yang lain.
Selain itu sebagi pelindung si bayi supaya tidak diganggu atau diusik oleh syetan.
Dalam petuah orang-orang tua Melayu terdapat salah satu
cara untuk meredam, menenangkan dan menghilangkan musibah bencana alam, malapetaka
atau merebaknya wabah penyakit yaitu dengan sering-sering mengumandangkan adzan
di beberapa tempat. Yang utama adalah ke arah empat penjuru angin.
5.
Tolak Ajong
Tolak Ajong merupakan salah satu acara ritual yang
bersifat sakral yang pelaksanaannya dilakukan setelah acara Faradje’
dilaksanakan. Proses acaranya yaitu memadukan antara acara Budaya Istana Surya
Negara, Keagamaan, Adat-Istiadat dan Seni Budaya.
Tolak bermakna gerakan mendorong agar sesuatu yang
didorong tersebut menjauh dari posisi si pendorong. Ajong adalah sebentuk kapal
kecil yang dihiasi dengan berbagai warna kemudian dimuat dengan beberapa benda
tertentu.
Makna daripada acara Tolak Ajong ini yaitu sabagai salah
satu bentuk ucapan rasa syukur kepada Allah swt. yang telah menganugerahkan
alam yang begitu maha kaya akan isinya yang selalu kita gunakan untuk pemenuhan
hidup di atas bumi ini, serta sekaligus sebagai bentuk acara ritual yang
bermakna untuk mengawali atau memulai sebuah kegiatan atau acara yang hendak
dilaksanakan. Dengan makna tujuan mencegah atau menghalau segala bentuk
marabahaya agar tidak terjadi, serta dengan sebuah harapan untuk mengakhiri
atau menghalau segala bentuk ancaman maupun gangguan baik itu yang membahayakan
manusia dan makhluk hidup lainnya serta alam semesta di muka bumi.
Menurut
Hamdani, salah seorang yang pernah menjadi Laskar Surah Yasiin dalam acara
Faradje’ mengatakan, “Pada ritual ini
disediakan berbagai macam makanan hasil panen, seperti buah-buahan,
sayur-sayuran, beras ketan hitam yang sudah di masak, begitu juga beras kuning
atau tumpeng sebagai lambang ucapan syukur kepada Allah Swt. Yang telah
memberikan rahmat dan rezekinya kepada masyarakat setempat. Kemudia makanan
yang belum dimasak seperti buah-buahan dan sayur-sayuran disedekahkan kepada
penduduk yang berhak memperolehnya. Sedangkan ketan hitam dan tumpeng dimakan
oleh para laskar atau prajurit dalam upacara tersebut. Kemudin sisa ketan yang
sudah dimakan disedekahkan kepada makhuk gaib penunggu sungai Kapuas yang
berada depan Keraton Surya Negara. Sesaji tersebut akan terus hanyut mengikuti
arus sungai hingga sampai ke Pancur Aji, yaitu tempat pembatas Kota Sanggau
dari daerah lainnya. Karena perlu diketahui, masyarakat Kantu’ yang ada di Kota
Sanggau sebagian besar masih percaya dengan kata tumbal yang tiap tahun menelan
korban, tidak peduli muda ataupun tua.”
Adat tradisi ini mempunyai maksud dan tujuan, antara
lain:
a.
Untuk mendapat petunjuk tentang hajatan atau pekerjaan. Maksudnya adalah merupakan salah satu jalan
atau ikhtiar guna mendapatkan petunjuk tentang hajat atau pekerjaan yang akan
dilakukan.
b.
Sebagai media membuang penyakit, bencana dan malapetaka
atau biasa disebut dengan istilah “Tolak Bala”. Adat seperti ini bertujuan untuk membuang
penyakit, bencana dan malapetaka yang sedang menimpa suatu tempat atau kelompok
masyarakat yang istilahnya disebut “Tolak Bala”. Bahkan bertujuan juga untuk
mengalihkan musibah penyakit, bencana dan malapetaka yang akan terjadi sehingga
tempat atau kelompok masyarakat tersebut terhindar dari bencana yang akan terjadi.
c.
Media penyambung silaturahim dengan silsilah leluhur atau
Keturunan. Sebagai makhluk yang tidak sendirian di alam
jagad ini sudah pasti terjalin hubungan antara manusia dengan makhluk-makhluk
lainnya di luar manusia. Hubungan tersebut terjalin dalam berbagai bentuk,
sesuai dengan keakraban dari manusia itu sendiri dengan makhluk di luar
manusia. Dalam Ilmu Tasawuf, dijabarkan bahwa jiak seorang hamba hendak sampai
kepada penembusan hijab Allah maka seorang hamba mestilah melewati hijab ghaib.
Dalam perjalanan batiniah inilah, si hamba tersebut akan sering-sering
berhubungan atau melewati alam ghaib sebelum ia tiba di Hijab Allah swt. (Tomi,
2012: 101)
6.
Tolak Tujuh Rupa atau Pelepasan Kembang Setaman
Tolak Tujuh Rupa atau Pelepasan Kembang Setaman adalah
persiapan sehimpunan bunga yang dipersiapkan untuk tujuan tertentu. Dalam
tradisi Nusantara, jenis bunga yang dipergunakan berbeda-beda disesuaikan
dengan tempat dan kepercayaan masing-masing.
Kembang yang identik dengan keharuman dan wangi-wangian mendapat
posisi terbaik di dalam ajaran Islam. Bahkan Al-Qur’an disampaikan betapa Allah
sangat menyenangi hamba-hambanya yang selalu rapi, bersih dan wangi. Bahkan
Allah menyamakan bau harum dan wangi-wangian sebagai dari ciri-ciri Syurga.
Dari penjelasan tersebut teranglah bahwa penggunaan
kembang atau bunga-bungaan tidak bertentangan dengan syari’at Islam bahkan
bagian dari Sunnah Nabi saw. Dalam kehidupan sehari-hari pun apabila suatu hal
dikaitkan denga kembang atau bunga pastilah berkaitan dengan hal yang berbau
harum atau wangi yang sudah pasti berhubungan dengan sesuatu yang bernilai
tinggi dan berakhlak terpuji.
E. Penutup
Pelaksanaan segala bentuk adat istiadat sangat
melekat erat pada tatanan kehidupan masyarakat di Kerajaan Sanggau. Pelaksanaan
segala bentuk adat istiadat tersebut berhubungan dengan sering merebaknya wabah
penyakit, matinya hewan ternak dan gagal penen di wilayah Sanggau hingga ke
Kapuas Hulu. Namun dalam perjalanannya, beberapa kali bisa teratasi walaupun
musibah tersebut hadir kembali lantaran penyesuaian pada Raja-raja yang
memerintah pada masa-masa tersebut.
Tersebutlah nama Dakdudak yang pada waktu itu
dipercaya mengurusi rakyat Sanggau di wilayah Kampung Kantu’. Dakdudak
dipercayakan amanah tersebut karena merupakan orang yang dituakan pada masa
itu.
Lantaran tiada kuasa untuk mengatasi
permasalan tersebut, sedangkan korban dan kerugian terus bertambah akibat
merebaknya wabah penyakit itu, maka Dakdudak bersama beberapa rombongan penduduk hijrah dari wilayah Kampung Kantu’
guna menghindari terkena jangkitan dari wabah penyakit yang begitu mengganas.
Hingga tahun berganti, dan Raja-raja pun silih
berganti memerintah di Kerajaan Sanggau. Tatanan Pemerintahan Kerajaan Sanggau
berlanjut pada Kepemimpinan Abang Sebilang Hari, dengan Abang Berani sebagai
Mangkubuminya. Sekian tahun memerintah Kerajaan Sanggau, musibah kembali
terjadi. Wabah penyakit, matinya hewan ternak dan gagalnya panen kembali
mendera wilayah Sanggau yang menyebabkan roda Pemerintahan Kerajaan Sanggau
kembali terganggu.
Lewat musyawarah di antara kerabat kerajaan,
maka diputuskanlah kata mufakat untuk memohon petunjuk dan bantuan seorang
ulama dari Kerajaan Matan yang pada saat itu telah menetap di Kampung Galah Hirang, mempawah. Ulama tersebut
bernama Habib Husein al-Qadri.
Namun dalam musyawarah tersebut mengalami
kendala lantaran perjalanan menuju ke Kampung Galah Hirang, Mempawah pada saat
itu hanya bisa ditempuh melewati jalur Sungai Kapuas. Sedangkan jalur tersebut
pada masa itu sedang maraknya aksi perampok yang tentunya sangat membahayakan
rombongan yang hendak menuju ke kampung Galah Hirang, Mempawah.
Dalam sulitnya mengambil keputusan, muncul
seorang tokoh yang dengan sangat berani dan tegas menyatakan sanggup memimpin
rombongan untuk pergi ke Kampung Galah Hirang, Mempawah guna memohon petunjuk
dan bantuan dari Habib Husein al-Qadri. Karena keberaniannya tersebut ia
dipanggil dengan nama Abang Berani atau dikenal dengan Abang Tabrani.
Maka berangkatlah rombongan Kerajaan Sanggau
yang dipimpin oleh Abang Berani yang didampingi oleh Gusti Muhammad Thahir I.
Dalam rombongan ini ikut juga rombongan dari Kerajaan Sintang yang juga ingin
mengambil berkat pada Habib Husein al-Qadri.
Akhirnya bertemulah rombongan ini dengan Habib
Husein al-Qadri. Dari pertemuan inilah diketahui bahwa moyang-moyang dari
Kerajaan Sanggau dan Sintang memiliki hubungan khusus denga moyang-moyang Habib
Husein al-Qadri ketika penyebaran Islam di Tanah Melayu dan Malaka, Brunei
Darussalam, dan Kerajaan Matan.
Setelah mendapat berkat dan petunjuk dari
Habib Husein al-Qadri, rombongan Abang Berani ke tanah asalnya dan kemudian
segera melaksanakan petunjuk tersebut, termasuklah salah satu adat tradisi
ritual yang sekarang dikenal dengan sebutan “Faradje’”.
Alhasil, adat ritual Faradje’ ini pun
membuahkan hasil. Serangan wabah, matinya hewan ternah dan gagal panen
Alhamdulillah bisa teratasi. Dan tatanan Pemerintah Kerajaan Sanggau kembali
normal.
Untuk mengingat jasa para leluhur yang
berjuang keras untuk mempertahankan kerajaan serta menyembuhkan wabah penyakit
serta malapetaka yang menimpa masyarakatnya, Raja pada saat ini mengadakan
kegiatan Faradje’ rutin pada tiap tahunnya. Selain untuk mengingat jasa para
leluhur, kegiatan ini pun dilakukan untuk melestarikan budaya yang ada di Muara
Kantu’ Kabupaten Sanggau tersebut. Kegiatan ini juga untuk menymabung tali
sliaturami antar kerajaan, sebab pada pelaksanaan kegiatan ini turut di undang
Raja-raja dari kerajaan lain, baik sesama Kalimantan Barat maupun di luar
Kalimantan Barat. Bahkan hingga ke negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei
Darussalam.
dara nante bukan saudara dara nandung, dara hitam, dara juanti, mereka bukan saudara.
ReplyDeleteditulisanmu ini kebanyakan merupakan gabungan hipotesis sama cerita rakyat, coba buka website mambm online, itu yang benar.