Wednesday, January 21, 2015

Upacara Faradje' di Kabupaten Sanggau

A.    Pendahuluan
Khusus di Kalimantan Barat, Kabupaten Sanggau merupakan salah satu Kabupaten yang berbatasan langsung dengan Sarawak (Malaysia Timur). Garis perbatasan antara Kabupaten Sanggau dengan Sarawak kurang lebih 129,50 Km (15%) dari sepanjang garis perbatasan antara Kalimantan Barat dengan Sarawak yang dimulai dari Tanjung Seraung (batas Kabupaten Bengkayang) sampai puncak gunung Bungkang (batas Kabupaten Sintang). Sedangkan untuk luas wilayah Kabupaten Sanggau adalah 12.858 Km2. (12,47% dari wilayah Kalimantan Barat yang seluas 614.807 Km2). (Tomi, 2012:1)

Sebelum berubah menjadi Kabupaten, pada awalnya wilayah Sanggau adalah Kerajaan Melayu yang sudah ada sejak abad ke-4 Masehi. Pada awalnya, nama Sanggau berasal dari pohon rambutan yang berkulit tebal dan isinya sangat tipis serta sangat berbahaya jika bijinya tertelan, bernama “Sangao”. Berdasarkan dari penyebutan nama sejenis pohon inilah maka wilayah tersebut kita kenal sekarang sebagai “Sanggau”.
Sanggau yang dikenal dengan Bumi Daranante ini banyak memiliki keunikan. Baik ragam kekayaan alam, sejarah maupun budaya. Kabupaten Sanggau mempunyai peninggalan kebudayaan masyarakat Sanggau tempo dulu. Yaitu dengan terdapatnya Keraton Surya Negara yang memerintah pada abad ke-18 dengan Rajanya yang bergelar “Panembahan”.
Catatan sejarah menyebutkan bahwa pertama kali Kerajaan Sanggau didirikan oleh Daranante. Dia bukan asli dari Sanggau, namun berasal dari daerah Sukadana, Kabupaten Ketapang. Daranante kemudian menikah dengan Babai Cingak dari suku  Dayak Sanggau yang berasal dari daerah Sabok (Perbatasan Kecamatan Balai Karangan-Sarawak Malaysia Timur). Awalnya keraton yang dibangun Daranante dipusatkan di Desa Mengkiang atau tepatnya ke arah hulu sungai Sekayam, Kecamatan Sanggau sekitar 1400 Masehi. Para raja yang berkuasa menjalankan roda pemerintahannya dari dalam istana bernama “Keraton Rumah Besar”. Saat berpusat di Desa Mengkiang, Kerajaan Surya Negara dikenal dengan nama Kerajaan Paku Negara. Para raja yang memerintah pun umumnya mendapat gelar Pangeran Paku Negara. Gelar tersebut selalu diselipkan dalam nama raja sebagai pertanda kebangsawanannya. (Tomi: 2012, 23)
Keturunan Kerajaan Sanggau di masa sekarang meyakini bahwa kerajaan leluhur mereka itu didirikan pertama kali pada tanggal 7 April 1310 M. Yaitu ketika Dara Nante dinobatka sebagi penguasa Kerajaan Sanggau yang pertama. Maka, pada tanggal 26 Juli 2009, perwakilan etnis yang terdapat di Sanggau, yaitu Melayu, Dayak dan Tionghoa, menyepakati bahwa tanggal 7 April sebagai hari jadi Kota Sanggau, meskipun hal ini masih sebatas pendeklarasian dan belum sebagai ketetapan pemerintah.
Setelah menetap di Desa Mengkiang, Babai Cingak diangkat menjadi Temenggung. Ia kemudian menikah dengan seorang gadis bernama Putri Daranante. Putri Daranante adalah anak pertama dari lima bersaudara, yakni Dara Juanti (Sintang), Dara Hitam (Landak), Dara Putih atau Dara Nandung (Sambas), serta Dara Junjung Buih (Ketapang). Dari pernikahannya dengan Daranante, Babai Cingak dikarunia seorang anak perempuan bernama Dara Mas Retana. Ia memiliki paras yang manis dari gadis lain yang ada di sana dan ia dibesarkan dengan adat istiadat agama Hindu, seperti yang dianut oleh kedua orang tuanya.
Saat dewasa, Dara Mas Retana menikah dengan seorang pemuda bernama Abdurrahman. Ia merupakan warga Banten pemeluk agama Islam yang berkelana ke Desa Mengkiang sekitar tahun 1485 Masehi. Ia adalah alumnus Pesantern Nurul Kamal Kerajaan Banten. Ia datang ke Mengkiang untuk menyebarkan agama Islam. Sejak kedatangannya, banyak masyrakat mengkiang yang masuk Islam. Istrinya, Dara Mas Retana merupakan orang Mengkiang yang pertama memeluk Islam.
Untuk kepentingan menyiarkan Islam, Abdurrahman mendirikan rumah yang sangat besar. Rumah tersebut sering berfungsi sebagai tempat berkumpul dan menyebarkan agama Islam. Seiring berjalannya waktu, Abdurrahman dinobatkan menjadi raja pertama di Kerajaan Paku Negara, Desa Mengkiang. Kemudian, rumah besar yang ia bangun juga dijadikan istana dengan sebutan “Keraton Rumah Besar”.
Dari pernikahannya dengan Dara Mas Retana, Abdurrahman dikarunia satu orang anak perempuan bernama Dayang Puasa. Dayang Puasa selanjutnya menikah dengan Abang Awaluddin, warga Nanga Mau, Kabupaten Kapuas Hulu.
Dari pernikahannya tersebut, Dayang Puasa dikarunia dua orang putra. Anak pertama bernama Abang Gani bergelar Ade Pati Paku Negara. Sementara anak kedua bernama Abang Kesuma bergelar Pangeran Agung Paku Negara.
 Kemudian pada tahun 1826 Sultan Ayub sebagai penambahan kala itu, memindahkan pusat kerajaan Sanggau ke Desa Kantu. Kerajaan tersebut berubah nama menjadi Keraton Surya Negara serta mendirikan Masjid Jamik. Tahun 1826 ketika kerajaan diperintah oleh Panembahan Kusuma Negara, saat itulah dibuat kesepakatan dengan pemerintah Kolonial Belanda untuk menyewakan sebidang tanah di kawasan hilir sungai Sekayam. Namun akhirnya Belanda menduduki kerajaan Sanggau pada tahun 1887. Saat itulah pecah peperangan rakyat melawan Belanda.
Setelah kemerdekaan Indonesia, dengan dikeluarkan Undang-Undang No. 27 tahun 1959 Kerajaan Sanggau masuk dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Indonesia merupakan negara dengan beragam budaya yang mestinya gerak kehidupannya tidak lepas dari budaya-budaya itu sendiri. Sebab, budaya merupakan tradisi nenek moyang yang terus mengalir dalam nadi yang telah diwarisi kepada kita sebagai anak cucunya.
Salah satu Budaya Tradisional, khususnya di Kalangan Masyarakat Melayu Muara Kantu’ di Kabupaten Sanggau adalah “Faradje’”. Faradje’ merupakan budaya dari nenek moyang Melayu Muara Kantu’ yang harus dilestarikan sebagai wujud menjalankan amanah dari nenek moyang yang khawatir akan tergeser oleh perkembangan zaman.
Untuk mewujudkan hal tersebut, pihak Keraton Surya Negara, kerajaan di Kabupaten Sanggau merutinkan kembali festival budaya Faradje’ setiap tahun di bulan Juni. Pada pelaksanaan festival Faradje’ tersebut bukan hanya terfokus pada ritual Faradje semata, akan tetapi juga mengangkat Seni Kebudayaan Masyarakat Melayu Sanggau lainnya.
Festival tersebut bukan dalam rangka hura-hura, tetapi keliling Kota Sanggau untuk membersihkan negeri di Kabupaten Sanggau dari mara bahaya dan malapetaka dari berbagai macam musibah dan penyakit atau bencana alam.
Dalam pelaksanaannya diawali dengan Pawai Faradje’ mengelilingi Kota Sanggau dengan lantunan asma Allah SWT.  Dalam Fesival tersebut, turut diundang petinggi-petinggi yang ada di Sanggau. Selain itu, juga mengundang para Raja yang ada di Kalimantan Barat dan raja-raja di luar Kalimantan Barat.
 Tujuan dari dilakukan festival tersebut adalah untuk melestarikan budaya leluhur. Budaya Faradje’ sudah sangat mengakar dan sudah menjadi cikal bakal dan nilai-nilai kearifan lokal yang ada di Sanggau yang perlu dilestarikan dan dipertahankan yang menyangkut budaya tidak lepas dari seni. Sebab, seni itu indah dan budaya merupakan suatu kearifan oleh nenek moyang dan merupakan hal yang patut dilestarikan dan dikembangkan kepada generasi yang akan datang. Hal tersebut dilakukan agar mereka tidak mudah terpengaruh dengan budaya-budaya asing yang bisa merusak iman, akhlak serta moral mereka.
Di sinilah keunikan dari acara Faradje’, karena dalam pelaksanaan acara tidak hanya monoton pada kegiatan ritual Faradje’ semata. Akan tetapi diadakan juga berbagai perlombaan untuk memeriahkan acara tersebut, di antaranya lomba sampan dan sampan tiga dara, hadrah, zapin, gambus, bersyair putra-putri, perlombaan busana muslim, menari, dan masih banyak lagi yang semuanya berhubungan dengan budaya dan seni. Tujuan dilakukan perlombaan berbagai seni di sini adalah untuk melestarikan seni-seni Islam agar tidak hilang tenggelam ditelan zaman.
Selain itu, keunikan dari acara ini adalah diundangnya para petinggi negara, raja-raja dari Kerajaan lain, baik yang ada di kalimantan Barat, luar pulau Kalimantan Barat hingga ke negara tetangga, seperti Malaysia dan Brunei Darussalam.
Khusus dilakukan festival Faradje’ ini adalah untuk membersihkan negeri dari segala penyakit dan marabahaya. Setelah itu baru dilakukan kegiatan-kegiatan lainnya. Sebelumnya juga telah dilakukan kegiatan-kegiatan yang sifatnya ritual yang berhubungan dengan keraton.
Menurut Hamdani, seorang Laskar Yasiin mengatakan, “Acara ritual yang dimaksud adalah seperti memberi sesaji kepada makhluk gaib penunggu Sungai Kapuas, namun makan yang menjadi sesaji tidaklah porsi yang banyak, yaitu beras ketan hitam dan beras kuning yang sudah dimasak, ayam hitam yang sudah di panggang, dan kelapa muda yang masih segar. Sebenarnya makanan tersebut sisa yang sudah dimakan oleh para laskar dan mereka yang turut dalam kegiatan upacara Faradje’. Memang, di dalam Islam membuang makan adalah mubazir dan berdosa, namun maksud memberi makanan kepada makhlus halus di sini adalah agar makhluk halus tersebut tidak mengganggu ketentraman yang ada di Muara Kantu’.”
Hamdani juga mengatakan, sebagian besar penduduk Muara Kantu’ masih menggunakan pemikiran tradisional, yaitu percaya dengan hal-hal mistis dan mitos. Karena tidak dapat dipungkiri, setiap tahun Sungai Kapuas selalu menelan korban tidak kenal muda maupun tua. Dan anehnya lagi, sebagian korban yang tenggelam di Sungai Kapuas tersebut sudah bisa berenang, seperti yang dialami oleh almahrum paman beliau yang tenggelam ketika pergi memancing. Akan tetapi, sebagian juga sudah berpikir modern, artinya sama sekali tidak mempercayai dengan hal-hal mitos seperti itu.
Berdasarkan kisah yang beredar, ada sejenis siluman yang melintang di dasar Sungai Kapuas berbentuk ular besar, dikenal dengan Puaka. Panjang Puaka ini sekitar ratusan meter, di mana ekornya berada Sekayam hulu Muara Kantu’ dan ekornya berada di Panjur Aji, di mana diketahui terdapat Kerajaan Gaib yang tak kasat mata bagi orang biasa. Masyarakat percaya, terjadinya korban adalah atas murkanya penghuni Sungai Kapuas ini akibat ulah manusia yang tidak bisa menjaga kelestarian alam, seperti memubuhkan racun ke sungai saat musim kemarau agar memperoleh banyak ikan, membuang sampah di sungai, dan beragai macam perbuatan yang dapat merusak kelestarian Sungai Kapuas juga perilaku manusia yang tidak bermoral.
Penghuni atau makhluk halus yang berada dalam Sungai Kapuas tersebut pernah disiarkan di salah satu stasiun televisi nasional dalam acara Mister Tukul Jalan-Jalan. Acara tersebut menyiarkan keberadaan Puaka dan keadaan yang ada di sekitar Pancur Aji.

B.     Sejarah di Masyarakat Melayu Muara Kantu’
Setiap daerah pasti memiliki sejarah tersendiri yang akan membuatnya terlihat unik dari yang lain. Seperti di daerah Muara Kantu’ Kabupaten Sanggau, di sini ada beberapa sejarah yang memang membuat daerah ini menjadi daerah yang cukup dikenali oleh banyak orang. Daerah Kantu’ sendiri pada awalnya adalah tembok atau gerbang yang melindungi Keraton dari daerah luar. Sehingga di zaman sekarang, daerah tersebut menjadi pemukiman penduduk namun mayoritas penduduk tersebut masih memiliki keturunan raja-raja dari Keraton Surya Negara.  
Selain sejarah asal mula daerah Kantuk, masih ada sejarah lainnya yang terdapat di daerah tersebut. Salah satunya adalah sejarah tentang masjid pertama yang didirikan oleh pemimpin kerajaan pada waktu itu. Nama masjid tersebut adalah Masjid Jami’ Sultan Ayub. Nama tersebut diambil dari nama raja yang menggagas pendiriannya.
Seperti masjid-masjid bersejarah lainnya di Kalimantan Barat, keberadaan Masjid Jami’ Sultan Ayub ini letaknya tidak juah dari tepian Sungai Kapuas dan berdekatan dengan Keraton Surya Negara.
Sekilas, bangunan Masjid Jami’ Sultan ayub ini hampir mirip dengan Masjid Jami yang ada di lingkungan Keraton Alwatzikubillah Sambas. Bentuk panggung dengan ornament keislaman di dalamnya seperti menjadi ciri khas yang tidak dapat dipisahkan.
Pada halaman depan masjid, terdapat sebuah tiang bendera yang bentuknya mirip dengan tiang layar kapal. Meski bentuknya sudah tidak lagi sempurna, namun tiang bendera tersebut tetap berdiri kokoh hingga kini. Pada bagian luar ruangan, nuansa Islam terasa sangat kental. Sebelum melangkahkan kaki memasuki bagaian dalam masjid, pada bagian atas pintu masuk tertampang sebuah ukiran arab yang dilengkapi angka-angka.
Masjid Jami’ ini berdiri antara rentang waktu 1825-1828 Masehi, oleh Sultan ayub. Dalam perkembangannya, masjid bersejarah ini dipenuhi dengan aneka barang-barang antik. Beberapa di antaranya mimbar khatib yang dibuat dimasa awal pembangunan masjid Jami’, lampu minyak yang konon berasal dari Negeri Cina serta sebuah bedug kuno.
Dahulu, lampu minyak antik itu jumlahnya terbilang banyak, dan sayangnya sekarang hanya tersisa lima buah saja. Jika dulu lampu itu diisi dengan minyak jarak dan sebuah sumbu, maka sekarang di dalamnya ditempatkan lampu neon.
Di bagian mimbar, ditempatkan tempat duduk khatib yang posisinya terbilang tinggi. Di atas mimbar, ada empat buah bendera kuning. Bendera itu merupakan perlambang bagi empat sahabat setia Rasulullah saw, yakni Abu Bakar As Shiddiq, Umar bin Khatab, Usman bin Affan, dan Ali bin abi Thalib. Keempat nama sahabat Rasulullah tersebut tertulis dengan indah di masing-masing bendera. Dan umur bendera tersebut seusia dengan mimbar.
Selain sejarah keberadaan Masjid Jami’ Sultan Ayub,  di Sanggau khususnya di daerah Muara Kantu’ juga mempunyai sejarah tentang asal-usul kehadiran Faradje’ di daerah tesebut.
Sebenarnya tidak ada penjelasan yang pasti kapan Faradje’ masuk ke Kabupaten Sanggau dan siapa yang membawanya.  Akan tetapi menurut salah seorang Narasumber, yaitu Bapak Ade Ibrahim dalam Tomi (2012: 49) bahwa ritual Faradje’ ini dahulunya diajarkan oleh para Ulama Arab yang berasal dari Yaman.
Berdasarkan penuturan Bapak Ade Ibrahim tersebut ketika beliau masih kecil bahwa dahulunya Keraton Kantu’ sering di datangi rombingan Ulama dari Arab. Sudah tradisi mereka turun temurun berkunjung ke Keraton Kantu’ karena menurut beliau para Ulama dari Arab tersebut mempunyai hubungan khusus dengan kerabat Keraton Kantu’. Selain bersilaturahmi, para Ulama Arab ini juga mengajarkan ilmu agama serta seni tradisiaonal arab salah satunya adalah “Zapin” yang oleh orang-orang tua lebih dikenal dengan istilah “Tanak”.
Bapak Ade Ibrahim masih mengingat beberapa pelajaran yang didapatkan orang-orang tua di kampung Kantu’ dari Para Ulama Arab tersebut antara lain: Pelajaran Sifat Dua Puluh, Ilmu Makrifat, Nur Muhammad, Tajul Muluk, Saraba Empat dan Ilmu Titik Ba’. Bahkan Para Ulama juga mengajarkan Ilmu Pernafasan dalam Berdzikir yang selanjutnya isitilahkan oleh orang-orang tua kampung Kantu’ sebagai Ilmu Tenaga Dalam.
Tidak jauh berbeda dengan penuturan Bapak Ade Ibrahim, menurut penuturan dari bapak H. Achmad Arief dalam Tomi (2012: 53) juga mengatakan bahwa Keraton Sanggau dahulunya sering dikunjungai rombongan Ulama dari Yaman. Ayah dari Bapak H. Achmad Arief ini bernama M. Arief anak dari Penembahan H. M. Said Paku Negara yang merupakan salah seorang Raja Sanggau. Ibunya bernama Dayang Masni anak dari Abang H. Ahmad seorang Penghulu Agama di  Keraton Surya Negara Sangau.
Kunjungan rombongan dari Yaman ini sudah menjadi tradisi, bahkan seperti ada hubungan khusus antara pihak keraton Sanggau dengan Para Ulama dari Yaman. Bapak H. Achmad Arief semasa kecilnya masih sempat merasakan kunjungan sekian kalinya para rombongan para Ulama dari Yaman ini. Ketika berkunjung ke Keraton Sanggau di kampung Kantu’ para Ulama dari Yaman ini selalu berkumpul di Keraton Kantu’ atau Rumah Balai.
Selain bersilaturahmi, rombongan Ulama dari Yaman ini juga mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada kerabat Keraton dan masyarakat sekitar kampung Kantu’. Maka ramailah orang memadati Keraton Kantu’ guna mendapatkan pelajaran-pelajaran langsung dari para Ulama Yaman tersebut. Malam harinya setelah belajar agama, para Ulama Yaman ini menggelar atraksi seni tari tradisional masyarakat Arab yaitu Zapin yang oleh masyarakat sekitar dikenal dengan Tanak.
Dari Narasumber lainnya menyampaikan bahwa Sanggau pada zaman dulu mempunyai tokoh ulama yang berasal dari Kerajaan Sanggau. Tokoh Ulama tersebut bernama H. Abbas bin Ahmad bin Hamzah As-Sanggau Maul Kapuas, yaitu seorang Penghulu Agama di Sanggau. Semasa hidupnya beliau, budaya Faradje’ selalu dirutinkan di setiap kampung-kampung. (Tomi, 2012: 51)
Selain beberapa ulama yang dibahas di atas, ada juga beberapa Narasumber yang menghubungkan ritual Faradje’ ini pada seorang Ulama penyebar Islam di Kalimantan Barat, Yaitu Habib Husein Al-Qadri.
Pengambilan berkat kepada Habib Husein Al-Qadri dikukan lantaran pada masa-masa itu wilayah Sanggau hingga ke Kapuas Hulu sering menjangkit wabah penyakit yang meresahkan masyarakat. Dan rombongan tersebut datang kepada Habib Husein guna meminta petunjuk agar permasalahan tersebut bisa teratasi.

C.    Sejarah Islam Di Muara Kantu’
Munculnya Islam di Sanggau, khususnya di daerah Muara Kantu’ bermula dari seorang lulusan Pesantren Nurul Kamal Kerajaan Banten yang bertekad menjadi ahli waris Nabi untuk menyebar agama Islam. Ia datang ke arah mengkiang sebuah daerah yang ada di Kabupaten Sanggau untuk berdakwah sekitar tahun 1485 Masehi.
Masyarakat Sanggau pada waktu itu banyak yang menganut agama Hindu. Tak terkecuali Dara Mas Retana, seorang putri berdarah biru yang dibesarkan dengan adat-istiadat agama Hindu, seperti yang diantu kedua orang tuanya. Dara Mas Retana adalah putri dari Babai Cingak, seorang Temenggung, hasil pernikahannya dengan seorang gadis bernama Putri Daranante.
Singkat cerita , akhirnya Abdurrahman menikah dengan Dara Mas Retana. Dari ikhtiarnya dalam memilih pendamping hidup, membawa manfaat yang sangat bagi dakwah Islam.
Risalah Islam yang disampaikan oleh Abdurrahman mejadikan Dara Mas Retana merupakan orang Mengkiang pertama yang memeluk agama Islam. Hal ini kemudian diikuti oleh masyarakat lain, sehingga sejak kedatangan Abdurrahman banyak masyarakat Mengkiang yang memeluk agama Islam.
Abdurrahman kemudian mendirikan sebuah rumah besar sebagai kepentingan berdakwah. Rumah tersebut sering difungsikan sebagai tempat berkumpul dan menyebarkan agama Islam. Seiring berjalannya waktu, Abdurrahman akhirnya dinobatkan sebagai raja pertama di Kerajaan Paku Negara, Desa Mengkiang. Selanjutnya, rumah besar yang ia bangun juga dijadikan istana dengan sebutan Keraton Rumah Besar.
Dari pernikahnnya dengan Dara Masa Retana, Abdurrahman dikarunia satu orang anak perempuan yang bernama Dayang Puasa yang selanjutnya menikah dengan Abang Awaluddin, warga Nanga Mau, Kabupaten Kapuas Hulu. Dari pernikahannya itu, Dayang Puasa dikaruia dua orang anak laku-laki. Anak pertama diberi nama Abang Gani yang bergelar Ade Pati Paku Negara, sedangkan anak kedua bernama Abang Kesuma bergelar Pangeran Agung Paku Negara.
Saat masih berpusat di Desa Mengkiang, kerajaan Surya Negara (sekarang) dikenal dengan nama Kerajaan Paku Negara. Para raja yang memerintah pun umumnya mendapat gelar Pangerang Paku Negara. Gelar tersebut selalu disematkan dalam nama para raja sebagai pertanda kebangsawannya.
Pemerintah Kerajaan/Kesultanan Sanggau di Mengkiang bertahan hingga masa kekuasaan abang Bungsu yang bergelar Sultan Mohammad Jamaluddin Kusumanegara yang bertahta dari tahun 1658 hingga 1690 Mashi. Sultan Mohammad Jamaluddin Kusumanegara memindahkan pusat pemerintahan dari Mengkiang ke tempat yang sekarang menjelma menjadi Kota Sanggau, tepatnya di daerah Muara Kantu’.
Meskipun bukan sebuah kerajaan besar, namun Kesultanan Sanggau juga memiliki beberapa wilayah pendudukan. Pada masing-masing dari daerah taklukan Kesultanan Sanggau tersebut ditempatkan seorang pejabat yang ditunjuk oleh Sultan Sanggau. Daerah-daerah yang disebutkan sebagai bagian dari wilayah penduduk Kesultanan Sanggau tersebut di antaranya adalah Semerangkai, Balai Karangan, Tanjung Sekayam, dan sejumlah daerah lainnya.
Secara umum, wilayah Kerajaan/Kesultanan Sanggau tidak jauh berbeda dengan wilayah Kabupaten Sanggau pada masa sekarang. Hal tersebut terlihat ketika pembentukan Kabupaten Sanggau yang mengacu kepada wilayah Swapraja Sanggau, sementara Swapraja Sanggau merupakan kelanjutan dari Kerajaan Sanggau dahulu.
Kabupaten Sanggau merupakan salah satu daerah yang terletak di tengah-tengah dan berada di bagian utara Kalimantan Barat. Di sebelah utara Sanggau berbatasan langsung dengan Sarawak (Malaysia),  di selatan berbatasan dengan Kabupaten Ketapang, di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Landak, dan di sebelah timur  Sanggau berbatasan dengan Kabupaten Sekadau dan Kabupaten Sintang.
Inilah cikal bakal Kerajaan sanggau, sebuah kerajaan Islam yang merupakan salah satu situs sejarah yang berharga bagi Kalimantan Barat, khususnya daerah Muara Kantu’ Kabupaten Sanggau. Istana kerajaan ini berada di jantung kota Sanggau, tepatnya di daerah Muara Kantu’, Kelurahan Tanjung Sekayam. Setelah berpindah tempat dari Desa Mengkiang ke daerah Muara Kantu’ pada tahun 1827-an oleh Pangeran Ayub yang merupakan masih keturunan dari Abdurrahman. Dan kerajaan tersebut berganti nama menjadi Keraton Surya Negara.
Setelah pusat kerajaan Sanggau pindah ke Kantu’, perekonomian kerajaan menjadi tambah maju, pusat kerajaan menjadi tambah ramai, dari banyak kerajaan, dan negara lain yang singgah dan berdagang dengan kerajaan Sanggau. Masa pemerintahan kerajaan Sanggau berakhir sampai masa zaman kemerdekaan.
Kemudian, setelah memindahkan pusat kerajaan, Sultan Ayub paku Negara menggagas pembangunan yang diberi nama Masjid jami’ Sultan Ayub yang merupakan masjid jami’ pertama di Sanggau. Masjid ini hanya terletak beberapa puluh meter saja dari Keraton Surya Negara. Hal menandakan bahwa antara Masjid Jami’ dan Keraton Surya Negara mempunyai hubungan dan tidak terpisahkan karena merupakan tempat ibadah dan juga aktivitas sosial.
Dari hubungan antara keraton dan masjid tersebut juga dapat diketahui bahwa tujuan dari pendirian masjid adalah sarana untuk memperlancar dakwah Islam di Kabupaten Sanggau dan sebagai sarana ibadah bagi mereka yang telah memeluk agama Islam. Sebab, keberadaan masjid tidak akan bisa dipisahkan dengan agama Islam.
Namun catatan lain menyebutkan bahwa kehadiran Islam di daerah Kantu’ sudah ada sejak tahun 1747 M. (Tomi, 2012: 55). Kedatangan Islam di daerah tersebut disebabkan dari banyak hal, di antaranya kedatangan Para Ulama dari Yaman yang sering berkunjung ke Keraton Surya Negara. Dalam kunjungan tersebut, para ulama mengajarkan banyak hal kepada masyarakat setempat terutama tentang agama Islam.
Selain Para Ulama dari Yaman, ada juga seorang Penghulu Agama di Sanggau yang menghasilkan karya berjudul “Fat-hul Qulub, yang diselesaikan pada sepertiga malam Jum’at, 29 Jumaidil Akhir 1328 H, yang bersisi tentang Tasawuf, Akhlak, Do’a dan Ungkapan Syair dalam Bahasa Melayu.
Juga disebutkan seorang ulama yang menyebarkan Islam di Kalimantan Barat, yaitu Habib Husein Al-Qadri. Penyebaran Islam di Muara Kantu’ bisa dilakukan sebab kedatangan rombongan dari kerajaan Sanggau dan Kapuas Hulu meminta petunjuk darinya untuk menghilangkan atau menyembuhkan kampung halaman mereka yang kala itu terjangkiti wabah penyakit, kegagalan panen serta kematian hewa ternak.

D.    Tradisi Faradje’ dan Nilai-nilai Islam bagi Masyarakat Muara Kantu’
Tradisi Faradje’ merupakan budaya khas masyarakat Melayu Sanggau yang dilaksanakan setiap tahun pada bulan Juni. Kegiatan tersebut dilaksanakan dengan pawai mengelilingi kota Sanggau yang awal keberangkatannya dari Keraton Surya Negara dan kembali lagi tempat yang sama. Festival tersebut tentu saja memikat banyak orang untuk menyaksikannya, terutama bagi suku Melayu juga bagi mereka yang beragama Islam.
Setelah melakukan pawai keliling Sanggau, kegiatan tersebut dilanjutkan di Keraton Surya Negara yang berada di daerah Muara Kantu’ selama satu minggu yang dimeriahkan dengan berbagai macam perlombaan. Sehingga pada waktu acara festival Faradje’, daerah Muara Kantu’ terlihat sangat ramai, karena selain diadakan perlombaan, orang-orang juga banyak yang mendirikan stan-stan untuk berjualan. Tentu hal tesebut sangat menguntungkan bagi mereka, sebab bukan hanya dari kota Sanggau tersebut menghadiri festival Faradje’, tetapi juga dari berbagi penjuru daerah ikut hadir untuk memeriahkannnya. Inilah keunikan dari upacara Faradje’, sebab setelah melakukan ritual diadakan berbagai perlombaan selama satu minggu, dan itu tentunya memberikan keuntungan bagi mereka yang membuka stan untuk mencari rezeki.
Menurut Rizki Amrullah, salah seorang yang pernah manjadi Laskar Faradje’ mengatakan, “Faradje merupakan kegiatan ritual negara guna untuk membersihkan negara dari berbagai macam mara bahaya yang harus dilestarikan. Dalam pelaksanaannya para Laskar dan mereka yang mengikuti upacara tersebut berjalan mengelilingi kota Sanggau yang bermula dari Keraton Surya Negara dan kembali ke tempat semula. Dalam perjalanan tersebut para Laskar ada yang membaca Surah Yasiin, Shalawat, dan bacaan Faradje’ itu sendiri. Selain itu, ada juga yang membawa alat-alat pusaka seperti tombak, keris dan meriam.”
Festival Faradje’ ini tentu saja bukan hanya untuk berhura-hura dan bersenang-senang belaka, akan tetapi dalam pelaksanaannya banyak mengandung nilai-nilai Islam yang tentunya berpengaruh bagi Masyarakat Melayu, khususnya Masyarakat Melayu Kantu’. Di antaranya sebagai adalah Laskar Lafal Ratib Saman, Laskar Surah Yasiin, Laskar Lafal Faradje’, Pengumandang Adzan, Tolak Ajong dan Tolak Tujuh Rupa atau Pelepasan Kembang Setaman. Dari tradisi Faradje’ tersebut semuanya mengandung nilai-nilai Islam bagi Masyarakat Melayu Muara Kantu’.

1.            Pelafalan Ratib Saman
Asal mula adanya Pelafalan Ratib Saman adalah pada suatu ketika merebaknya penyakit yang menyerang warga kampung. Wabah penyakit tersebut berasal drai makhulk halus (roh jahat). Makhluk ini sering menampakkkan dirinya sehingga membuat masyrakat kampung ketakutan.
Selain terganggu dengan  makhluk halus, masyrakat juga sering diganggu oleh para penjahat atau perampok. Para perampok ini sering mengambail harta masyarakat dan tidak segan-segan untuk membunuh jika korbannya melawan.
Karena ketakutan, dan marasa resah dengan situasi yang seperti itu, akhirnya banyak masyarakat pindah dari kampung halaman ke tempat yang lebih aman.
Melihat kondisi kampung halamannya terus menerus tertimpa malapetaka, pemimipin kampung memutuskan untuk pergi ke Mekkah untuk mencari jalan keluar bagi masalah yangs edang dialami oleh kampungnya.
Setelah sampai di Mekkah, ia bertemu dengan Syeikh Ahmad Khatib Sambas bin Abd al-Ghaiffar al-Sambasi al-Jawi dari Sambas Kalimantan Barat. Dari Syeikh ahmad Khatib Sambas inilah ia mendapatkan amalan ibadah yang bermanfaat guna menghilangkan keresahan warga kmapungnya.
Amalan tersebut berupa rangkaian dzikir yang panjang biasa disebut dengan “Ratib Saman”. Ratib artinya wirid atau dzikir, sedangkan Saman berasal dari nama Syeikh yang menciptakan dzikir tersebut yang merupakan salah satu dari sekian banyak guru dari Syeikh Ahmad Khatib Sambas.
Isi yang terkandung dalam dzikir tersebut adalah keseluruhan harapan-harapan manusia, termasuk agar terhindar dari gangguan jin, penyakit-penyakit, perampokan, dan pembunuhan.
Setelah pulang ke kampung halamannya, ketua kampung tersebut memerintahkan kepada warga kampung untuk melakukan acara terus menerus sesuai dengan aturan yang berlaku yaitu tiga kali dalam satu bulan setiap malam jum’at setelah Shalat Isya berjamaah di Surau kampung.
Pada minggu pertama, kegiatan dipusatkan di dalam Surau. Minggu selanjutnya disertai dengan berjalan keluar Surau menuju pangkal bagian Selatan dan ujung Kampung bagian Utara karena bagian-bagian tersebut merupakan sebagai tempat tinggal para makhluk halus.
Dengan upacara tersebut lambat laun apa yang mereka harapkan mulai terkabulkan. Penyakit mulai hilang dan gangguan jin atau roh jahat mulai berkurang. Para penjahat atau perempok tidak berani lagi mengganggu masyarakat. Suasana kampung pun menjadi aman dan tentram.
Dalam ritual Faradje’, kegiatan Pelafalan Ratib Saman ini dilakukan melibatkan beberapa orang untuk membentuk barisan, jumlahnya tidak ditentukan namun diusahkan berjumlah ganjil. Dalam perjalanan Laskar ini menyerukan lafal Ratib Saman dengan lantang sambil mengayunkan pedang dengan ujung berada di langit dan di pusat bumi, seolah membentuk “Alif-Lam”. Laskar inilah disebut dengan Laskar Lafal Ratib Saman.
Lafal Ratib Saman berbunyi: “Laaillaahaillallah.... hul malikul habul mubin, Muhammadarrasulullah sadikul. Waidul amiin”.
Lafal ini terus menerus diucapkan dari awal melangkah keluar Keraton Surya Negara hingga kembali lagi ke dalam Keraton.
Arti “Ratib” sebenarnya adalah “yang teratur”. (Tomi, 2012: 66). Dalam bahasa Tasawuf, kata Ratib dipakai sebagai suatu bentuk Dzikir yang disusun seorang guru  Tharekat atau seorang ulama untuk dibaca pada waktu-waktu tertentu oleh seseorang atau beberapa orang dalam suatu jama’ah sesuai dengan  aturan yang telah ditentukan oleh penyusunnya. Dzikir-dzikir yang yang disusun menjadi Ratib itu biasanya terdiri dari ayat-ayat yang dipilih dari ayat-ayat Al-Qur’an yang bermakna Tahlil (Mengesakan Allah), Tasbih (Menyucikan Allah), Tahmid (Memuji Allah), Taqdis (Menyucikan Allah), Istighfar (memohonkan ampun), Shalawat, Hauqalah (Membesarkan Nama Allah) dan do’a-do’a pilihan lainnya. Dzikir-dzikir tesebut didasarkan pada pada ayat-ayat Al-Qur’an serta Hadits-hadits Nabi saw. dan pilihannya sesuai dengan kecenderungan penyusunannya yang berdasarkan kandungan lafal-lafal dzikir yang dipilih itu.
Ratib ini biasanya dilakukan setelah shalat Isya pada malam Jum’at dengan dipimpin  oleh seorang imam. Tujuan pelaksanaan Ratib tersebut tidak keluar dari tujuan Therkat dan Tasawuf pada umumnya, yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. dan meminta bantuan-Nya dalam mengekang hawa nafsu, memohon magfirah (ampun, maaf)-Nya dan meminta petunjuk serta Taufik-Nya dalam mencapai Ridha-Nya.
Namun, pada saat ini pelaksanaan Ratib banyak mengalami perubahan, baik karena penambahan, pengurangan, maupun kesalahan yang terdapat dalam bacaannya. Karena itu perlulah kiranya tuntunan dari seorang Ulama yang memahami tentang Ratib Saman ini yang sangat kental dengan roh Sufi dan Tasawuf.

2.            Pembacaan Surah Yasiin
Pembacaan Surah Yasiin dilakukan oleh beberapa orang dan jumlahnya tidak ditentukan tetapi disarankan berjumlah ganjil. Mereka disebut dengan Laskar Surah Yasiin. Dalam perjalanan menempuh rute pelaksanaan upacara, Laskar ini terus menerus membaca Surah Yasiin dari awal hingga berakhir di Keraton Surya Negara.
Yasiin merupakan nama Surah yang ke 36 dalam Al-Qur’an, terdiri dari 83 ayat dan termasuk golongan surah Al-Makkiyah yaitu Sura yang diturunkan di Mekkah. Lafal Yasiin itu sendiri merupakan satu ayatyang merupakan ayat pertama dari Surah tersebut.
Ayat ini termasuk ayat Mutasyabihat yaitu ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam, atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah swt yang mengetahui.
Surah Yasiin bermafaat untuk membentengi suatu tempat atau wilayah. Prosesi pembentengan tersebut salah satunya adalah melaksanakan pembacaan Surah Yasiin dengan metode berjalan mengitari tempat atau wilayah. Pengitaran tempat atau wilayah mesti melintasi empat penjuru dari tempat atau wilayah yang dimaksud. Selama proses pelintasan, bacaan Surah Yasiin harus terus menerus ditartilkan mulai dari penjuru yang awal hingga ke penjuru yang akhir. Ketiba tiba ke penjuru terakhir, malkukan gerakan tertentu dengan maksud memakrifatkan membentengi tempat atau wilayah yang dimaksud.
Begitu multi gunanya tradisi ritual pembacaan Surah Yasiin dengan mengelilingi suatu tempat atau wilayah sehingga tradisi ritual ini dilaksanakan dengan maksimal. Akan lebih maksimal lagi jika tradisi ritual ini diagungkan dengan kepercayaan diri yang tinggi dengan melibatka segenap komponen Masyarakat Melayu Sanggau.

3.            Pelafalan Faradje’
Bacaan Faradje’ merupaka momen utama dalam rangkaian acara Festival Budaya Faradje’ Pasa Negeri di Kabupaten Sanggau. Bacaan ini merupakan ide awal penanaman Festival Budaya tersebut dengan Faradje’.
Dalam pelaksanaan Lafal Faradje’ dibutuhkan beberapa orang yang disarankan berjumlah ganjil yang kemudian berbentuk sebah barisan yang dipimpin oleh seorang imam yang membaca Lafal Faradje’ yang berbunyi: “Isytaddi ajmantu tanfariji....”. Kemudian dijawab oleh makmum. “Yaa Rabbihim wabi ‘aalihim, ‘ajil binnasriwabilfaraji”. Diucapkan bersama-sama dengan suara keras dan lantang. Lafal ini dibaca terus menerus hingga kembali lagi ke Keraton Surya Negara. Para pelafal bacaan tersebut dikenal dengan Laskar Lafal Faradje’.
Bacaan asli Faradje’ bernama “Qasidah Munfarijah”. Qasidah Munfarijah adalah bagian dari Qasidah Burdah yang merupakan karya dari bagian dari Imam Al-Busairy Rahimahullah.
Qasidah Burdah karya Imam Al-Busairy adalah salah satu karya sastra Islam paling populer. Ia berisikan sajak-sajak pujian kepada Nabi Muhammad saw. yang biasa dibacakan pada setiap bulan Maulid/Rabiul Awal, bahkan dibeberapa belahan negeri Islam tertentu, Burdah kerap kali dibacakan dalam setiap even. Gubahan-gubahan al-Busairy memilki akar yang kuat dalam budaya dan kesejahteraan sastra di masa Rasulullah saw.
Qasidah Munfarijah juga berhubungan dengan kisah Ibnu Al-Nahwi Al-Tawzari. Nama asli beliau adalah Yusuf bin Muhammad bin Yusuf, dan merupakan salah seorang Ulama Sufi ternama di Algeria. Beliau lahir di Tawzar, Selatan Yunisa sekitar tahun 1042 Hijriyah dan menetap di Msjid Bani Hammad, Masaylah.
Suatu ketika beliau mendengar berita tentang bencana dan malapetaka yang menimpa kampung halamnnya di Tawzar. Serangan wabah penyakit merajalela ditambah lagi gannguan keamanan oleh kelompok perampok. Kesengsaraan kaumnya semakin tidak tertanggung dengan penindasan dari penjajahan bangsa Prancis pada waktu itu. Korban terus berjatuhan di tanah kelahirannya tersebut.
Situasi tersebut mejadikan beban fikiran yang mendalam dilubuk batinnya. Beliau sering bermunajat kepada Allah agar malapetaka dan bencana bisa terangkat dari tanah kelahirannya yang tercinta.
Hingga suatu malam, beliau bermimpi bertemu Rasulullah saw. Rasulullah saw menyampaikan kepada beliau tentang Qosidah Munfarijah gubahan Iamm Al-Busairy. Bait-bait dalam Qosidah Munfarijah tersebut Isya Allah bisa menjadi salah satu jalan keluar terhadap masalh yang sedang beliau bebani. Pembacaan bait-bait Qosidah Munfarijah mestilah dilaksanakan dengan aturan-aturan tertentu, termasuk dibacakan dengan metode mengitari suatu tempat atau wilayah yang mencakup empat penjuru.

4.            Mengumandangkan Adzan
Adzan artinya memanggil atau memberitahu. Adzan adalah seruan yang mulai disyari’atkan pada tahun kedua Hijriah. Dalam penugasan untuk mengumandangkan adzan dibutuhkan empat orang yang masing-masing mengumandangkan di setiap penjuru yang telah ditentukan, yaitu Timur, Barat, Selatan dan Utara pada saat pelaksanaan ritual berlangsung.
Pada awalnya,  suatu hari Nabi saw. mengumpulkan para sahabat untuk memusyawarahkan bagaimana cara memberitahu masuknya waktu shalat dan mengajak orang ramai agar berkumpul ke Masjid untuk melakukan shalat berjamaah. Oleh karena zaman dahulu belum terdapat alat pembesar suara maka digaungkanlah adzan serentak atau berselang seling di setiap empat penjuru Masjid yang seolah-olah adzan di empat penjuru.
Adzan juga dianjurkan oleh Nabi saw. diperdengarkan kepada bayi yang baru lahir dengan tujuan supaya si bayi tersebut terlahir dahulu mendengar seruan Allah sebelum ia mendengar bunyi-bunyian yang lain. Selain itu sebagi pelindung si bayi supaya tidak diganggu atau diusik oleh syetan.
Dalam petuah orang-orang tua Melayu terdapat salah satu cara untuk meredam, menenangkan dan menghilangkan musibah bencana alam, malapetaka atau merebaknya wabah penyakit yaitu dengan sering-sering mengumandangkan adzan di beberapa tempat. Yang utama adalah ke arah empat penjuru angin.

5.                  Tolak Ajong
Tolak Ajong merupakan salah satu acara ritual yang bersifat sakral yang pelaksanaannya dilakukan setelah acara Faradje’ dilaksanakan. Proses acaranya yaitu memadukan antara acara Budaya Istana Surya Negara, Keagamaan, Adat-Istiadat dan Seni Budaya.
Tolak bermakna gerakan mendorong agar sesuatu yang didorong tersebut menjauh dari posisi si pendorong. Ajong adalah sebentuk kapal kecil yang dihiasi dengan berbagai warna kemudian dimuat dengan beberapa benda tertentu.
Makna daripada acara Tolak Ajong ini yaitu sabagai salah satu bentuk ucapan rasa syukur kepada Allah swt. yang telah menganugerahkan alam yang begitu maha kaya akan isinya yang selalu kita gunakan untuk pemenuhan hidup di atas bumi ini, serta sekaligus sebagai bentuk acara ritual yang bermakna untuk mengawali atau memulai sebuah kegiatan atau acara yang hendak dilaksanakan. Dengan makna tujuan mencegah atau menghalau segala bentuk marabahaya agar tidak terjadi, serta dengan sebuah harapan untuk mengakhiri atau menghalau segala bentuk ancaman maupun gangguan baik itu yang membahayakan manusia dan makhluk hidup lainnya serta alam semesta di muka bumi.
Menurut Hamdani, salah seorang yang pernah menjadi Laskar Surah Yasiin dalam acara Faradje’ mengatakan,   “Pada ritual ini disediakan berbagai macam makanan hasil panen, seperti buah-buahan, sayur-sayuran, beras ketan hitam yang sudah di masak, begitu juga beras kuning atau tumpeng sebagai lambang ucapan syukur kepada Allah Swt. Yang telah memberikan rahmat dan rezekinya kepada masyarakat setempat. Kemudia makanan yang belum dimasak seperti buah-buahan dan sayur-sayuran disedekahkan kepada penduduk yang berhak memperolehnya. Sedangkan ketan hitam dan tumpeng dimakan oleh para laskar atau prajurit dalam upacara tersebut. Kemudin sisa ketan yang sudah dimakan disedekahkan kepada makhuk gaib penunggu sungai Kapuas yang berada depan Keraton Surya Negara. Sesaji tersebut akan terus hanyut mengikuti arus sungai hingga sampai ke Pancur Aji, yaitu tempat pembatas Kota Sanggau dari daerah lainnya. Karena perlu diketahui, masyarakat Kantu’ yang ada di Kota Sanggau sebagian besar masih percaya dengan kata tumbal yang tiap tahun menelan korban, tidak peduli muda ataupun tua.”
Adat tradisi ini mempunyai maksud dan tujuan, antara lain:
a.            Untuk mendapat petunjuk tentang hajatan atau pekerjaan. Maksudnya adalah merupakan salah satu jalan atau ikhtiar guna mendapatkan petunjuk tentang hajat atau pekerjaan yang akan dilakukan.
b.            Sebagai media membuang penyakit, bencana dan malapetaka atau biasa disebut dengan istilah “Tolak Bala”. Adat seperti ini bertujuan untuk membuang penyakit, bencana dan malapetaka yang sedang menimpa suatu tempat atau kelompok masyarakat yang istilahnya disebut “Tolak Bala”. Bahkan bertujuan juga untuk mengalihkan musibah penyakit, bencana dan malapetaka yang akan terjadi sehingga tempat atau kelompok masyarakat tersebut terhindar dari bencana yang akan terjadi.
c.             Media penyambung silaturahim dengan silsilah leluhur atau Keturunan. Sebagai makhluk yang tidak sendirian di alam jagad ini sudah pasti terjalin hubungan antara manusia dengan makhluk-makhluk lainnya di luar manusia. Hubungan tersebut terjalin dalam berbagai bentuk, sesuai dengan keakraban dari manusia itu sendiri dengan makhluk di luar manusia. Dalam Ilmu Tasawuf, dijabarkan bahwa jiak seorang hamba hendak sampai kepada penembusan hijab Allah maka seorang hamba mestilah melewati hijab ghaib. Dalam perjalanan batiniah inilah, si hamba tersebut akan sering-sering berhubungan atau melewati alam ghaib sebelum ia tiba di Hijab Allah swt. (Tomi, 2012: 101)

6.            Tolak Tujuh Rupa atau Pelepasan Kembang Setaman
Tolak Tujuh Rupa atau Pelepasan Kembang Setaman adalah persiapan sehimpunan bunga yang dipersiapkan untuk tujuan tertentu. Dalam tradisi Nusantara, jenis bunga yang dipergunakan berbeda-beda disesuaikan dengan tempat dan kepercayaan masing-masing.
Kembang yang identik dengan keharuman dan wangi-wangian mendapat posisi terbaik di dalam ajaran Islam. Bahkan Al-Qur’an disampaikan betapa Allah sangat menyenangi hamba-hambanya yang selalu rapi, bersih dan wangi. Bahkan Allah menyamakan bau harum dan wangi-wangian sebagai dari ciri-ciri Syurga.
Dari penjelasan tersebut teranglah bahwa penggunaan kembang atau bunga-bungaan tidak bertentangan dengan syari’at Islam bahkan bagian dari Sunnah Nabi saw. Dalam kehidupan sehari-hari pun apabila suatu hal dikaitkan denga kembang atau bunga pastilah berkaitan dengan hal yang berbau harum atau wangi yang sudah pasti berhubungan dengan sesuatu yang bernilai tinggi dan berakhlak terpuji.

E.     Penutup
Pelaksanaan segala bentuk adat istiadat sangat melekat erat pada tatanan kehidupan masyarakat di Kerajaan Sanggau. Pelaksanaan segala bentuk adat istiadat tersebut berhubungan dengan sering merebaknya wabah penyakit, matinya hewan ternak dan gagal penen di wilayah Sanggau hingga ke Kapuas Hulu. Namun dalam perjalanannya, beberapa kali bisa teratasi walaupun musibah tersebut hadir kembali lantaran penyesuaian pada Raja-raja yang memerintah pada masa-masa tersebut.
Tersebutlah nama Dakdudak yang pada waktu itu dipercaya mengurusi rakyat Sanggau di wilayah Kampung Kantu’. Dakdudak dipercayakan amanah tersebut karena merupakan orang yang dituakan pada masa itu.
Lantaran tiada kuasa untuk mengatasi permasalan tersebut, sedangkan korban dan kerugian terus bertambah akibat merebaknya wabah penyakit itu, maka Dakdudak bersama beberapa rombongan  penduduk hijrah dari wilayah Kampung Kantu’ guna menghindari terkena jangkitan dari wabah penyakit yang begitu mengganas.
Hingga tahun berganti, dan Raja-raja pun silih berganti memerintah di Kerajaan Sanggau. Tatanan Pemerintahan Kerajaan Sanggau berlanjut pada Kepemimpinan Abang Sebilang Hari, dengan Abang Berani sebagai Mangkubuminya. Sekian tahun memerintah Kerajaan Sanggau, musibah kembali terjadi. Wabah penyakit, matinya hewan ternak dan gagalnya panen kembali mendera wilayah Sanggau yang menyebabkan roda Pemerintahan Kerajaan Sanggau kembali terganggu.
Lewat musyawarah di antara kerabat kerajaan, maka diputuskanlah kata mufakat untuk memohon petunjuk dan bantuan seorang ulama dari Kerajaan Matan yang pada saat itu telah menetap di Kampung  Galah Hirang, mempawah. Ulama tersebut bernama Habib Husein al-Qadri.
Namun dalam musyawarah tersebut mengalami kendala lantaran perjalanan menuju ke Kampung Galah Hirang, Mempawah pada saat itu hanya bisa ditempuh melewati jalur Sungai Kapuas. Sedangkan jalur tersebut pada masa itu sedang maraknya aksi perampok yang tentunya sangat membahayakan rombongan yang hendak menuju ke kampung Galah Hirang, Mempawah.
Dalam sulitnya mengambil keputusan, muncul seorang tokoh yang dengan sangat berani dan tegas menyatakan sanggup memimpin rombongan untuk pergi ke Kampung Galah Hirang, Mempawah guna memohon petunjuk dan bantuan dari Habib Husein al-Qadri. Karena keberaniannya tersebut ia dipanggil dengan nama Abang Berani atau dikenal dengan Abang Tabrani.
Maka berangkatlah rombongan Kerajaan Sanggau yang dipimpin oleh Abang Berani yang didampingi oleh Gusti Muhammad Thahir I. Dalam rombongan ini ikut juga rombongan dari Kerajaan Sintang yang juga ingin mengambil berkat pada Habib Husein al-Qadri.
Akhirnya bertemulah rombongan ini dengan Habib Husein al-Qadri. Dari pertemuan inilah diketahui bahwa moyang-moyang dari Kerajaan Sanggau dan Sintang memiliki hubungan khusus denga moyang-moyang Habib Husein al-Qadri ketika penyebaran Islam di Tanah Melayu dan Malaka, Brunei Darussalam, dan Kerajaan Matan.
Setelah mendapat berkat dan petunjuk dari Habib Husein al-Qadri, rombongan Abang Berani ke tanah asalnya dan kemudian segera melaksanakan petunjuk tersebut, termasuklah salah satu adat tradisi ritual yang sekarang dikenal dengan sebutan “Faradje’”.
Alhasil, adat ritual Faradje’ ini pun membuahkan hasil. Serangan wabah, matinya hewan ternah dan gagal panen Alhamdulillah bisa teratasi. Dan tatanan Pemerintah Kerajaan Sanggau kembali normal.
Untuk mengingat jasa para leluhur yang berjuang keras untuk mempertahankan kerajaan serta menyembuhkan wabah penyakit serta malapetaka yang menimpa masyarakatnya, Raja pada saat ini mengadakan kegiatan Faradje’ rutin pada tiap tahunnya. Selain untuk mengingat jasa para leluhur, kegiatan ini pun dilakukan untuk melestarikan budaya yang ada di Muara Kantu’ Kabupaten Sanggau tersebut. Kegiatan ini juga untuk menymabung tali sliaturami antar kerajaan, sebab pada pelaksanaan kegiatan ini turut di undang Raja-raja dari kerajaan lain, baik sesama Kalimantan Barat maupun di luar Kalimantan Barat. Bahkan hingga ke negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei Darussalam.



1 comment:

  1. dara nante bukan saudara dara nandung, dara hitam, dara juanti, mereka bukan saudara.
    ditulisanmu ini kebanyakan merupakan gabungan hipotesis sama cerita rakyat, coba buka website mambm online, itu yang benar.

    ReplyDelete